Minggu, 30 Januari 2011

Masalah Per" FILM"an


Posts filed under 'Masalah Perfilman'

Kode Etik tak Cukup Tangani Iklan di Televisi


Keluhan masyarakat terhadap besarnya jumlah iklan pada tayangan di televisi yang mengganggu kenyamanan saat menonton, terutama di acara prime time, tidak pernah ditanggapi oleh pihak DPR dan para aparat yang terkait.
Hal tersebut diungkapkan Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tini Hadad, ketika dihubungi Warta Kota melalui telepon, Jumat (21/12).
Pihak YLKI, menurutnya, sudah sering mengangkat persoalan ini ke meja diskusi. Tapi ini pun terhenti pada paparan wacana. Telah lama juga –semenjak Departemen Penerangan masih berdiri –YLKI mengusulkan ke DPR agar dibentuk undang-undang periklanan, termasuk untuk mengatur praktek-praktek iklan di media cetak dan elektronik. Tapi hasilnya sampai sekarang, imbuh Tini, nihil.
“Pihak stasiun televisi tahu benar bagaimana memanfaatkan prime time, dan prinsip mereka, kalau penonton nggak suka akan banyaknya iklan di tayangan tersebut, silakan take it or leave it,” tuturnya.
Selama ini, pihak asosiasi periklanan hanya menerapkan kode etik untuk menetapkan batas tayangan iklan sebesar 30 persen. Dan menurut Tini, itu saja tidak cukup karena pada kenyataannya, ketetapan tersebut banyak dilanggar. “Dari hasil observasi YLKI, banyak yang tidak memakai patokan tersebut. Karena, tidak ada sanksi apa pun yang mengancam perbuatan mereka itu,” tukasnya.
Menanggapi alasan dari pihak SCTV dan Indosiar, yang diutarakan oleh para manajer humas mereka, yakni Budi Dharmawan dan Gufron Sakaril, (Warta Kota, 20/12), Tini mengatakan alasan itu hanya dalih semata. “Bisa saja itu dalih mereka bahwa iklan yang memotong tayangan di tengah-tengah acara itu sekalian buat sensor atau untuk menahan remote control pemirsa agar tidak pindah ke saluran televisi lain.
Saya tahu benar, Lembaga Sensor Film (LSF) umumnya memotong adegan kekerasan atau porno. Lain dengan iklan yang memotong film di adegan apa saja. Dan dalih remote control dijadikan alasan, sehingga jumlah iklan justru sering lebih panjang dari acaranya,” ujarnya.
Sementara itu Pengamat Media, Veven SP Wardhana, juga mengungkapkan soal semakin besarnya tindak pelanggaran terhadap patokan 30 persen untuk tayangan iklan. Menurutnya, hal itu bisa terjadi akibat tidak adanya lembaga yang melakukan penghitungan yang mutlak mengenai peraturan 30 persen tersebut.
“Maka, pihak televisi dengan gampang mencuri jam tayang iklan. Contoh pada acara pertama mereka mencuri tiga menit dan terus berlanjut pada tayangan berikutnya, juga mencuri waktu waktu tiga menit. Dan tanpa disadari penonton, akhirnya akumulasi jam tayang iklannya melampui batas,” papar Veven.
Veven juga prihatin soal tayangan-tayangan kuis yang pertanyaan-pertanyaannya menjurus ke promosi produk, dan ini nyaris dilakukan semua stasiun televisi. “Ini sangat mengganggu konsumen dan para peserta kuis itu sendiri. Padahal etikanya, sponsor tidak boleh memasuki area tayangan,” tegasnya.
Sayangnya, tidak ada undang-undang yang mengatur persoalan iklan tersebut, dan jika dikaitkan dengan etika moral, tidak ada hukuman yang membuat pelaku jera, katanya.
Menurutnya, harus ada sebuah lembaga yang terdiri dari masyarakat sipil, untuk terus-menerus melakukan tekanan –termasuk lewat surat pembaca di media cetak –terhadap pihak media dan periklanan. Ia mencontohkan apa yang dilakukan para ibu-ibu di Amerika Serikat yang membentuk lembaga pemantau iklan, dan hasilnya efektif, ditunjukkan dengan berkurangnya tayangan iklan yang mengeksploitasi anak. “Jika tidak ada yang berinisiatif, media pun bisa mengambil alih tugas ini,” imbuhnya.
Bisa menuntut
Sementara itu pakar komunikasi JB Wahyudi menganggap pemotongan acara televisi tanpa mengindahkan kenyamanan pemirsa merupakan kesalahan penyelenggara.
“Mereka tidak mengindahkan hak konsumen penonton televisi. Masyarakat bisa menuntut melalui media watch, karena saya sendiri melihat persoalan ini merupakan sesuatu yang mengkhawatirkan,” jelasnya.
Sebab apa yang dilakukan stasiun televisi, lanjut mantan Kepala Monitoring TVRI Stasiun Pusat Jakarta ini, semata-mata pertimbangan profit. Namun demikian, hendaknya pengelola televisi tidak boleh mengorbankan kepentingan pemirsa. Di balik kepentingan bisnis itu sebenarnya juga ada hak pemirsa untuk mendapatkan tayangan yang nyaman.
“TV mau melanggar hak-hak pemirsa semata-mata karena kepentingan bisnis. Karena iklannya banyak, tidak peduli lagi kepentingan kenyamanan. Sehingga etika siaran pun dilanggar seenaknya,” jelas Wahyudi.
Seiring dengan perkembangan dunia pertelevisian, dengan hadirnya 10 stasiun televisi swasta dan TVRI, Wahyudi menilai sudah saatnya dibentuk semacam Television Watch yang tugasnya memantau perkembangan pertelevisian. Badan pemantau itu bisa lebih independen mengawasi persoalan yang muncul di dunia pertelevisian. (yus/agi)

Add comment November 18th, 2008

825 orang berpose telanjang


satulelaki.com - Para pembuat film di Korea Selatan siap meluncurkan film yang dibintangi ratusan bintang film telanjang. Film yang bertemakan tentang kerusakan lingkungan ini menggambarkan situsi dan kondisi manusia saat ini.
Film yang penuh dengan karya seni dan kiasan ini menggunakan 825 aktor telanjang sebagai bintangnya. Dalam film Mago ini, seluruh tubuh para aktor dan aktris tersebut dilumuri lumpur dan polusi. Penggambaran ini dibuat secara erotis artistik berdasarkan mitos masyarakat Korea tentang kehidupan manusia yang jatuh dari surga dan rusaknya kehidupan modern.
Ratusan pemain film amatir termasuk 100 diantaranya wanita ini direkrut dari beberapa perguruan tinggi di sana. Film ini tengah menjadi bahan perbincangan menarik mengingat film nudis relatif jarang di negara tersebut apalagi dengan ongkos produksi yang rendah.
Para pemain hanya melakukan beberapa dialog di tengah monolog puitis selama 80 menit film berlangsung. Tujuan film ini adalah untuk menggambarkan kehidupan alami di surga pada saat bumi dan manusia masih alami.
Sayangnya, masih ada pihak-pihak yang kurang menyetujui dengan adanya unsur nudis ini. Menurut sang produser Kang Byung-soo, untuk menggambarkan kealamian alam pada mula kehidupan maka mereka harus telanjang. “Tapi tentu saja bukan untuk tujuan komersial, saya tidak akan membuat film ini jika hanya untuk uang semata,” tegasnya.
Sungguh memerlukan waktu dan persuasif yang tidak mudah untuk meloloskan film ini dari sensor. Jangankan badan sensor, para pemainnya sendiri banyak yang mendapat larangan dari orangtua maupun teman dekat ketika akan berpose telanjang di layar lebar.

Add comment November 5th, 2008

Sinetron Remaja yang Menjual Tampang


Cerita sinetron bertema remaja bertambah lagi. Tetapi formula cerita nyaris tak berubah meskipun diproduksi oleh pihak yang berbeda. Intinya berkisar pada percintaan, konflik, dan tentu saja wajah cantik, ganteng dan menarik.
Resep manjur tersebut ternyata masih digunakan oleh rumah produksi Prima Entertainment untuk sinetron Siapa Takut Jatuh Cinta (STJC). Sinetron yang disutradarai oleh Firman Triyadi itu ditayangkan SCTV setiap Minggu pukul 19.00 WIB mulai 14 April 2002. Skenarionya digarap oleh Lintang Pramudya Wardani.
Kepada wartawan di Jakarta baru-baru ini, Sutradara Firman mengatakan, para pemain yang dipilih untuk STJC sudah merupakan pilihan yang tepat. Dengan tema cerita remaja tersebut, masing-masing pemain sudah dianggap cocok untuk membawakan tokoh yang diperankan.
“Saya bekerja sebagaimana sutradara yang lain. Ketika mendapatkan tawaran menggarap sinetron ini, saya mempelajari apa yang ada. Saya memandang pekerjaan ini sebagai industri. Saya mempelajari cerita, pemain, kru, peralatan dan lain-lain. Semuanya saya pelajari dulu, dan menurut saya rangkaian konsep yang ditawarkan Prima cukup menggairahkan,” kata Firman.
Pihak Prima Entertanment memang menyeleksi banyak orang untuk mendapatkan para pemain baru di STJC. Dari hasil casting puluhan calon, Prima akhirnya memilih Roger Danuarta, Ikhsan Muhammad dan Jonathan. Tetapi fokus dan nilai jual STJC tetap mengandalkan artis muda yang populer seperti Indra Brugman dan Leony. Selain itu, sinetron ini juga diramaikan oleh artis-artis populer lain, seperti Adi Bing Slamet dan Peggy Melati Sukma.
Sementara itu, Manajer Humas SCTV Budi Darmawan mengatakan, kehadiran sinetron remaja saat ini tidak dapat dimungkiri sebagai tayangan yang sedang tren. “Bukan sekadar ikut-ikutan, namun penayangan jenis sinetron yang sedang disukai merupakan ikhwal yang wajar untuk memuaskan pemirsa,” katanya.
Sejak awal April lalu, SCTV bahkan mulai menjadikan tayangan FTV Jumat sebagi FTV remaja. Berikutnya, Layar Mini Seri (LMS) juga mulai mengkhususkan tema pada persoalan-persoalan remaja.
Tetapi STJC juga mendapat tudingan menjiplak konsep cerita Meteor Garden yang ditayangkan Indosiar. Sebagian besar alur cerita mempunyai kemiripan yang cukup dekat.
Barangkali segmen dan cerita sinetron STJC ini juga mempengaruhi banyak pertimbangan artistik. Dengan cerita yang mengambil latar belakang kampus elit, produser memang sulit menghindar dari formula yang stereotip.
Dengan tema yang menyinggung sedikit pertentangan kelas, sebagian pemainnya tentu harus berpenampilan sebagaimana layaknya orang berada. Logika selanjutnya tentu saja orang kaya mesti cantik, ganteng dan keren. Empat anggota geng pemuda yang diperankan Indra, Roger, Jonathan dan Steve bakal terlihat seperti itu.
Meskipun diimbangi oleh tokoh Triana sebagai mahasiswi yang sederhana, cerita menggambarkan karakter umum mahasiswa yang sombong dan tukang pamer. Atribut pakaian bagus, benda-benda mahal dan mobil mewah bisa ditemukan dengan mudah di STJC. Belum lagi polesan tata rias pemain figuran yang terkesan agak berlebihan.
Tetapi, sutradara Firman Triyadi berpendapat, kesan berlebihan itulah yang memang justru ingin ditonjolkan. Di beberapa adegan, tokoh Oni misalnya bakal tampil secara karikatural. Oni tak segan berteriak-teriak di tengah jalan, atau marah-marah dengan segala macam gaya.
“Pada saat-saat tertentu, sejumlah pemain akan tampil secara berlebihan. Dengan demikian, kami berharap bisa menarik perhatian penonton. STJC tidak hanya menyuguhkan konsep komedi situasi saja. Sinetron ini menciptakan gaya permainan yang berlebihan,” kata Firman.
STJC mengangkat cerita kehidupan remaja sekolahan yang sarat dengan persoalan sekolah, cinta dan pergaulan sesama remaja. Dalam cerita ini, Oni yang diperankan Leony tampil sebagai gadis yang pandai bergaul dan pintar meskipun berasal dari keluarga yang biasa saja

Tidak ada komentar:

Posting Komentar