Sabtu, 29 Januari 2011

Contoh Berita Langsung (Straight News) dan Berita Kisah (Feature) – 3

Contoh Berita Langsung (Straight News) dan Berita Kisah (Feature) – 3

Prolog :
Saya upload 3 berita dari KOMPAS cetak, Sabtu 6 November 2010 dan Minggu, 7 November 2010, tentang bencana Merapi. Berita pertama berupa straight news dan dua berita selanjutnya berupa news feature. Sengaja saya kutip seluruhnya, tidak hanya me-post link berita dari Kompas, agar lebih mudah dibaca oleh murid-murid saya, jika sewaktu-waktu rujukan link menghilang (kadang begitu…). Untuk definisi straight news dan feature lihat power point ke-2 materi terdahulu atau klik di sini.
I. MERAPI PERAS AIR MATA
http://cetak.kompas.com/read/2010/11/06/03012652/merapi.peras.air.mata.
Seorang pengungsi meneteskan air mata saat berhasil mencapai posko pengungsian di Stadion Maguwoharjo, Sleman, DI Yogyakarta, pascaerupsi Gunung Merapi, Jumat (5/11) dini hari.
Yogyakarta, Kompas – Letusan eksplosif Gunung Merapi sepanjang Kamis (4/11) pukul 23.00 hingga Jumat petang memeras air mata penduduk DI Yogyakarta dan Jawa Tengah. Peristiwa itu sangat mencekam, mengacaukan, dan membawa korban tewas 64 orang, puluhan sapi mati, serta belasan rumah terbakar akibat awan panas atau runtuh akibat banjir lumpur.
Hingga pukul 23.00 semalam, tercatat jumlah korban meninggal dunia 64 orang, semuanya penduduk Desa Argomulyo, Kecamatan Cangkringan, dan luka-luka 77 orang. Sejumlah sapi mati terbakar serta sejumlah rumah terbakar dan rusak.
Semalam, pengungsi mencapai 150.255 orang, terdiri dari pengungsi di DIY 34.000 orang serta pengungsi di Kabupaten Magelang, Boyolali, dan Klaten (semuanya di Jawa Tengah) 116.255 orang.
Sejak letusan pertama, 26 Oktober 2010, Merapi telah menyemburkan material vulkanik sekitar 100 juta meter kubik (m). Separuh di antaranya diperkirakan menyembur Jumat dini hari hingga petang, ditandai dengan luncuran awan panas.
”Letusan ini lebih besar dari letusan Gunung Galunggung tahun 1982. Waktu itu Galunggung mencicil erupsi selama 10 bulan. Merapi hanya dalam dua minggu,” kata Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM Sukhyar, Jumat. Sekitar 100 juta m material vulkanik itu menyebar ke sektor selatan, barat daya, tenggara, barat, dan utara yang di antaranya meliputi Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta, serta Kabupaten Klaten, Boyolali, dan Magelang di Jawa Tengah.
Berdasarkan observasi lapangan sementara petugas Badan Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) pada Jumat pagi, jarak luncur awan panas terjauh akibat letusan Merapi, sepanjang Kamis-Jumat, tercatat sejauh 14 kilometer di Dusun Bronggang, Cangkringan, Sleman, DIY.
Akibat letusan itu, tiga alat pencatat gempa BPPTK di Stasiun Klatakan, Pusonglondon, dan Deles, rusak terkena awan panas. Saat ini seismograf yang masih berfungsi tinggal satu unit di Stasiun Plawangan. ”Hari ini (kemarin) kami mencoba memasang satu seismometer di sisi Jrakah (Magelang),” kata Kepala BPPTK Subandriyo.
Salah satu peringatan akan ancaman terbesar yang serius adalah aliran lahar dingin, yang bisa mencapai Kali Code, Kali Gajahwong, dan Kali Winongo di DIY. Ancaman menjadi kian serius apabila hujan terus mengguyur di kawasan lereng Merapi.
Sepanjang Rabu hingga Jumat pagi, aktivitas Merapi meningkat dahsyat. Gelombang awan panas tak putus-putusnya keluar dari puncak beserta material letusan lava dan abu yang diiringi gemuruh.
Puncaknya terjadi pada Jumat pukul 00.30. Suara gelegar besar terdengar hingga radius 30 km dan hujan pasir hingga radius 15 km. Hujan abu vulkanik juga terjadi hingga Kota Yogyakarta, yang berjarak lebih dari 30 km di selatan Merapi. Bahkan, dilaporkan hingga Kabupaten Tegal dan Brebes, Jawa Tengah.
Di Magelang, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) kesulitan membersihkan jalur evakuasi yang tertutup pohon-pohon tumbang. Hal itu dikhawatirkan berisiko apabila letusan Merapi datang lagi.
Lima langkah Presiden
Merespons kondisi Gunung Merapi yang kian mengancam, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Kantor Presiden kemarin menetapkan lima langkah ekstra penanggulangan bencana.
Langkah pertama adalah penetapan kendali operasi tanggap darurat di tangan Kepala BNPB Syamsul Maarif. Kepala BNPB akan dibantu oleh Gubernur DIY, Gubernur Jawa Tengah, Panglima Kodam IV Diponegoro, Kepala Kepolisian Daerah Jawa Tengah, dan Kepala Kepolisian Daerah DIY.
Langkah kedua, mendorong unsur pemerintah pusat berada di garis depan. Presiden menugaskan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono memastikan bantuan bagi masyarakat bisa diberikan dengan cepat, tepat, dan terkoordinasi.
Ketiga, Presiden memerintahkan TNI mengerahkan satu brigade penanggulangan bencana.
Keempat, Presiden memerintahkan Polri mengerahkan satuan tugas kepolisian untuk penanggulangan bencana karena pergerakan lalu lintas masyarakat di tengah bencana berpotensi menimbulkan kekacauan. Kelima, Presiden menegaskan, pemerintah akan membeli sapi-sapi ternak milik penduduk kawasan Gunung Merapi dengan harga yang pantas.
Secara mendadak, pada Jumat sore Presiden memutuskan berangkat lagi ke Yogyakarta untuk memastikan semua pihak menjalankan tugasnya.
Ketua Komisi VIII DPR Abdul Kadir Karding menegaskan, pemerintah harus tegas memaksa warga di sekitar lereng Gunung Merapi untuk mengungsi ke tempat aman. Agar warga tidak cemas, pemerintah harus menjamin penggantian ternak warga yang mati serta memindahkan ternak yang masih hidup. ”Petugas harus tegas melarang pengungsi yang kembali ke rumahnya. Warga harus dipaksa mengungsi,” katanya.
Gelombang pengungsi
Jumat dini hari, gelombang pengungsi datang dari utara. Di Jalan Kaliurang, ribuan sepeda motor dan mobil dipacu kencang ke arah Kota Yogyakarta di tengah hujan abu vulkanik, pasir, dan kerikil. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi menaikkan radius aman primer Merapi dari 15 km menjadi 20 km.
Eksodus pengungsi pun terjadi, yang di antaranya terkonsentrasi di Stadion Maguwoharjo, Sleman, yang menampung hingga 30.000 jiwa. Di Masjid Agung Sleman di kompleks Pemerintah Kabupaten Sleman, ribuan pengungsi berdatangan dengan kondisi memprihatinkan mulai pukul 01.30. Tubuh mereka berlumuran abu vulkanik.
Puluhan pengungsi terlihat di Masjid Agung Kauman di kompleks Keraton Ngayogyakarta.
RS Sardjito, Yogyakarta, hingga pukul 21.15 tercatat menerima 64 jenazah dan 66 korban luka bakar parah. Sejak subuh ambulans bergiliran datang membawa korban tewas ataupun luka bakar. Di Klaten, 80 warga dirawat di RSU Soeradji Tirtonegoro.
”Tidak ada korban meninggal, tapi ada salah satu pengungsi yang hamil tua kehilangan calon bayinya karena shock dampak psikologis,” ujar Kepala Instalasi Gawat Darurat RSU Soeradji Tirtonegoro, Klaten, dr Hartolo.
”Meski Jumat siang erupsi sudah relatif mereda dibandingkan dua hari sebelumnya, bukan berarti berhenti. Letusan besar lagi kemungkinan masih ada,” kata Kepala BPPTK Subandriyo.
Mengantisipasi membeludaknya jumlah pengungsi, Pemerintah Provinsi Yogyakarta menyiapkan gedung-gedung sekolah apabila diperlukan. Sejauh ini jumlah pengungsi terbesar ada di Stadion Maguwoharjo, Sleman.
Sejak kemarin pagi Bandar Udara Adisutjipto, Yogyakarta, ditutup total. General Manager Bandara Adisutjipto Agus Adriyanto menuturkan, penutupan itu semula ditetapkan berlaku mulai pukul 06.00 hingga 09.00. Penutupan bandara diperpanjang hingga satu hari penuh. Akibat penutupan tersebut, sekitar 90 jadwal penerbangan dari dan menuju Yogyakarta dibatalkan. Sekitar 8.000 calon penumpang pesawat dari dan menuju Yogyakarta juga batal terbang.
Kampus-kampus di DIY kemarin membuka pintu untuk para pengungsi Merapi. Selain kampus, para pengungsi juga memadati stadion olahraga. (Tim Kompas) **
Contoh News Feature1 :
II. Bangkitnya Spirit Nasi Bungkus dari Jogja…
Sabtu, 6 November 2010 | 03:02 WIB
Eny Prihtiyani dan Mawar Kusuma
Nasi bungkus, makanan rakyat jelata itu, hadir di tengah bencana letusan Gunung Merapi. Ketika pengungsi membeludak dan berhamburan tak tentu arah, nasi bungkus menjadi sumber kekuatan.
Warga pelosok pedesaan hingga GKR Hemas Permaisuri Keraton Yogyakarta menyatakan solidaritas mereka bagi pengungsi Merapi melalui nasi bungkus.
Kelihatannya hanya nasi bungkus, tetapi dalam bencana letusan Merapi yang bertubi-tubi saat ini, ia jadi simbol betapa solidaritas warga Yogyakarta begitu kuatnya. Entah apa yang menggerakkan spirit mereka. Tanpa perintah, setiap warga di segala penjuru Provinsi DI Yogyakarta serentak memberikan pertolongan apa saja.
Seperti pada peristiwa letusan Merapi, Kamis (4/11), banyak pemilik kendaraan truk spontan mengevakuasi penduduk pedesaan yang berniat mengungsi. Selain sukarelawan, masyarakat juga berbondong-bondong menolong pengungsi dan banyak yang menyediakan rumahnya sebagai tempat penampungan pengungsi, tanpa digerakkan. Yang dilakukan warga itu karena faktor kebetulan saja. Ya kebetulan sama-sama punya niat untuk menolong.
Inilah tampaknya faktor kebetulan yang dikisahkan dalam novel Celestine Prophecy karya James Redfield. Bahwa faktor kebetulan itu merupakan energi yang memiliki kekuatan dahsyat untuk membangun kemanusiaan. Oleh karena itu, manusia perlu banyak menemukan faktor kebetulan ini.
Nasi bungkus
Yang paling banyak dalam aksi solidaritas itu adalah gerakan pemberian nasi bungkus. Bisa disebut gerakan karena hampir seluruh lapisan masyarakat di tingkat rumah tangga (RT), dusun, atau desa yang tidak terkena bencana serentak membuat masakan nasi bungkus dan dikirim kepada pengungsi.
”Letusan Merapi sejak Kamis malam membuat pengungsi kocar-kacir. Eksodus warga tidak diikuti kesiapan dapur umum. Itulah kenapa perlu ada bantuan nasi bungkus,” ujar Ratu Yogyakarta GKR Hemas, Jumat.
GKR Hemas segera memelopori penyediaan nasi bungkus dalam jumlah besar dari setiap kabupaten/kota di DI Yogyakarta yang tidak mengalami bencana Merapi. Setiap kabupaten dijatah menyediakan 2.000 nasi bungkus setiap harinya. Penyediaan nasi bungkus akan terus dilakukan sampai dapur umum kembali mampu memenuhi kebutuhan pengungsi.
Menurut GKR Hemas, gerakan nasi bungkus serupa pernah digalakkan ketika bencana gempa bumi melanda DIY pada 2006. Penyediaan nasi bungkus tersebut terbukti mampu mencukupi kebutuhan pangan korban bencana.
”Kebutuhan paling pokok pengungsi adalah ketersediaan makanan,” tambah GKR Hemas yang masih mengunjungi lokasi pengungsian hingga petang hari.
Tebalnya rasa solidaritas nasi bungkus bisa terlihat dari kiriman yang tak putus hingga menjelang sore. Kiriman nasi bahkan melebihi jumlah pengungsi. Onggokan nasi bungkus yang tak dimakan pengungsi terlihat di sudut-sudut barak pengungsi.
Bahkan, solidaritas juga datang dari warga Tionghoa dari Jogja Chinese Art and Culture Centre (JCACC) dan Yayasan Persaudaraan Masyarakat Yogyakarta, yang terlibat mencari dan membagikan bantuan bagi pengungsi hingga larut malam. Koordinator JCACC Hari Setyo mengaku, sukarelawan sering kali berada di lokasi pengungsian hingga dini hari.
Ekspresi kultural
Budayawan Butet Kartaredjasa mengatakan, gerakan nasi bungkus tersebut menjadi bukti kuatnya akar kebudayaan masyarakat, yakni semangat gotong royong. ”Gerakan itu menjadi ekspresi kultural masyarakat. Tanpa duit, masyarakat bergerak. Tanpa petunjuk pelaksanaan dan instruksi dari atasan, mereka rela menyumbangkan nasi,” katanya.
Peristiwa saat ini, tuturnya, mengulang semangat solidaritas saat gempa bumi tahun 2006. Masyarakat berbondong-bondong memberikan bantuan dalam bentuk apa saja dan tanpa pamrih apa pun.
”Kekuatan budaya yang mereka miliki telah mengalahkan kekuatan politik. Dalam politik, semuanya harus dimaknai dengan uang,” katanya.
Butet mengaku merinding saat menyaksikan puluhan warga di jalan-jalan menuju arah Yogya, Jumat dini hari, menyirami kaca mobil-mobil yang melintas. Kaca yang penuh debu disiram supaya si sopir bisa mengemudi dengan jelas. ”Hal tersebut tidak mungkin terjadi di Jakarta. Kalau di sana pasti sudah jadi polisi cepek (upah),” tambahnya.
Bupati Bantul Sri Suryawidati mengatakan sudah menyalurkan 4.000 nasi bungkus, kemarin. Rencananya hari ini, Pemerintah Kabupaten Bantul akan membuka dapur umum di Jogja Expo Center. ”Kami akan melibatkan ibu-ibu dari Bantul untuk terlibat dalam penyiapan nasi bungkus,” ujarnya.
Gelombang kiriman nasi bungkus di Stadion Maguwoharjo, Sleman, Jumat siang benar- benar menyelamatkan sekitar 30.000 pengungsi dari kelaparan. Mereka merupakan pengungsi dari tiga kecamatan di Kabupaten Sleman yang menyelamatkan diri dengan tergesa dari letusan dahsyat Merapi, Kamis malam. Di lokasi baru itu dapur umum belum terbentuk. Stok makanan pun hampir tak ada.
Solidaritas ini tidak terbatas pada wilayah. Nasi bungkus dari Pakel Golo juga dikirim untuk para pengungsi Merapi di Desa Dukun, Muntilan, yang kurang tersentuh bantuan. Gerakan nasi bungkus RW 1 Pakel Golo direncanakan berlangsung lima hari. Gerakan ini telah menarik gerakan simpatik lainnya, seperti sukarelawan tenaga memasak dari SMK Negeri 6 Yogyakarta dan berbagai sumbangan bahan masakan mengalir ke RW itu.
Semangat Jawa holobis kontul baris (satu kekuatan bersama) tampaknya tak kan pernah mati. Ia selalu hadir nyata dalam nurani manusia. (Irene Sarwindaningrum) ***

Contoh News Feature 2 :

Solidaritas Sosial :
RAKYAT TULUS BERBAGI
Minggu, 7 November 2010 | 02:49 WIB

Sebagian dari seratusan ribu pengungsi korban letusan Gunung Merapi tidur berdesakan dan beralaskan tikar, karpet, dan kardus di Pendopo Pemerintah Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, Jumat (5/11). Diperluasnya daerah aman di atas 20 kilometer dari puncak Merapi membuat jumlah pengungsi terus bertambah banyak.
Hampir sepekan Mulyadi (52), warga Desa Winong, Kecamatan Boyolali Kota, Jawa Tengah, ini berbagi ruang dengan para pengungsi. Ia menyediakan rumahnya yang ”hanya” memiliki empat kamar untuk sekitar 125 pengungsi bencana Merapi asal Kecamatan Selo dan Cepogo, Boyolali.
Upaya Mulyadi membantu para pengungsi tak berhenti di situ. Bersama tiga tetangganya, yang juga menyediakan rumahnya, saban hari ia menyiapkan makanan bagi sekitar 250 orang pengungsi. Sabtu (6/11) pagi, rumah Pak Guru, panggilan Mulyadi, mulai dari teras, ruang tamu, ruang belakang, hingga kamar tidur penuh dengan para pengungsi.
Karena menampung begitu banyak pengungsi, rumah seukuran 250 meter persegi itu menjadi ”milik” bersama. Mulyadi harus siap hidup berdampingan dengan orang lain, yang tadinya tidak pernah ia kenal. Sudah pasti risikonya, ia juga harus siap dengan sejumlah perbedaan kebiasaan. Walau kemudian gagang pintu kamar mandinya serta keran dispensernya rusak, Mulyadi menyikapinya dengan ikhlas. ”Ya, namanya juga dari gunung, saya maklum saja, ha-ha-ha,” tutur Mulyadi.
Tak perlu kenal untuk saling berbagi. Itulah yang mendorong mantan guru ini menyediakan rumahnya sebagai tempat pengungsian. ”Saya senang bisa berguna buat orang lain,” katanya.
Perasaan senasib juga sering kali mendorong sikap toleran dan kebutuhan untuk saling membantu. Di antara sesama pengungsi pun solidaritas menggema di mana-mana. Ketika diminta mengungsi, Narti (42), warga Dusun Kopeng, Desa Kepuhan, Sawangan, Magelang, Jawa Tengah, sedang berada di ladang. Oleh sebab itu, ia hanya sempat membawa sebuah selimut. ”Saat ngungsi, selimut satu kami pakai bersama,” katanya. Bahkan, para pengungsi di Gedung Koperasi Republik Indonesia, Kecamatan Borobodur, yang jumlahnya mencapai 150 orang ini, juga menggunakan sabun mandi secara bersama-sama.
Seorang perempuan bernama Jumini (30), yang mengungsi terpisah dengan suaminya, sering kali merasa terharu. Warga Desa Paten, Kecamatan Dukun, Magelang, ini berterima kasih kepada sesama pengungsi lantaran mereka setiap kali menyuapi Kiki (3), anaknya. ”Di pengungsian, Kiki jadi anak bagi banyak orang,” tutur Jumini sambil menyeka air matanya yang meleleh sampai pipinya.
Biskuit
Sikap berbagi juga ditunjukkan oleh para anak. Lihatlah Kuat (7), bocah pengungsi asal Dukuh Gowoksabrang, Desa Sengi, Kecamatan Dukun, Magelang. Kuat yang sedang ditampung di tempat pengungsian sementara Palbapang, Muntilan, bersama Eni (45), ibunya, tiba-tiba membagi biskuit kepada seorang anak yang sedang menangis dalam gendongan ibunya.
”Baru kali ini dia mau memberikan jajan miliknya kepada orang lain. Kuat biasanya selalu menyimpan makanannya sendiri,” tutur Eni.
Di tempat pengungsian sementara di Pabrik Kertas Blabak, Magelang, Sani (45) membagikan puluhan ikat kedelai kepada beberapa pengungsi. Kedelai rebus itu berasal dari ladangnya sendiri di Desa Kapuhan, Kecamatan Sawangan, kira-kira 13 kilometer dari tempat pengungsian. Sani bersama beberapa orang sengaja kembali ke desanya untuk memanen kedelai yang kemudian ia bagi kepada sesama pengungsi.
”Kami baru kenal di pengungsian. Karena banyak yang tidak kebagian jatah makan, saya kembali ke desa untuk memanen kedelai,” kata Sani. Ia tahu, kembali ke desa berarti menempuh risiko karena Desa Kapuhan termasuk dalam zona berbahaya.
Kampus
Solidaritas juga terlihat demikian kuat di kalangan kampus. Saat Merapi meletus pada Jumat (5/11) dini hari, beberapa universitas di Yogyakarta meliburkan perkuliahan dan menyerukan kepada mahasiswa mereka untuk menjadi relawan. Selain itu, beberapa universitas menyiapkan kampus mereka sebagai tempat penampungan para pengungsi.
Di Gelanggang Olahraga (GOR) Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) kini ditampung tak kurang dari 590 pengungsi yang sebagian besar berasal dari Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, DI Yogyakarta. Saat mendapat instruksi untuk menampung para pengungsi, para mahasiswa bahu-membahu menyiapkan ruangan. ”Kami khusus mencari warga Hargobinangun agar mereka bisa berkumpul bersama keluarganya,” tutur Humas Posko Merapi UNY Akhmada Khasby Ash Shidiqy (22). Akhmad bergabung bersama 300 mahasiswa UNY menjadi relawan membantu para pengungsi.
Universitas yang juga spontan menyediakan ruangan kampus mereka untuk menampung pengungsi, di antaranya Universitas Gadjah Mada, Universitas Atmajaya Yogyakarta, Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran”, Universitas Sanata Dharma, dan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Di rumah warga, kampus, dan berbagai tempat penampungan lain, para pengungsi yang sebelumnya tidak saling mengenal kini harus hidup bersama.
Merangkul manusia
Kebersamaan itu membutuhkan toleransi dan membuang jauh-jauh egoisme. Melihat spontanitas dan ketulusan warga, rohaniwan Romo Kirjito mengatakan, Merapi sedang merangkul manusia. Erupsi gunung teraktif di Jawa itu telah menggerakkan manusia untuk memerhatikan sesama.
”Dalam peristiwa itulah rasa kemanusiaan mengalahkan segala-galanya. Semangat hidup berbagi untuk sesama menemukan jawabannya di tengah-tengah bangsa yang sedang mengalami krisis kemanusiaan ini,” ujar Romo Kirjito.
Masalahnya memang sering kali perasaan solidaritas sosial itu baru tumbuh dan membesar di saat-saat krisis. Tetapi, rasa itu tumbuh secara sporadis, tidak diorganisasikan secara masif sehingga menjadi modal kebersamaan yang besar. Solidaritas rakyat yang murni tanpa pamrih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar