Minggu, 30 Januari 2011

Artikel Per"FILM"an

l
 
9

Kronika

Kejadian yang Pernah Terjadi Pada Tanggal 31 Januari
Selengkapnya...


5 er 43bb

KLIPING ARTIKEL

Judul  : Kebijakan yang berubah-ubah
Isi  :







Betapa pentingnya film dapat dilihat dari kebijakan Pemerintah . Ada Penetapan Presiden No 1 Th 1964  tentang Pembinaan Perfilman  dengan jelas disebutkan mengingat pentingnya fungsi film dalam usaha mencapai tujuan revolusi. Tugas Menteri Koordinator Kompartemen Perhubungan Dengan Rakyat mengkoordiasikan pengimporan , pembuatan , pengedaran film dan pengawasaannya  . Hebatnya lagi untuk urusan film ini  Menko ini langsung di bawah presiden.

Lewat Instruksi  Presiden No 012 tahun 1964,   Pembinaaan Perfilman ,  tetap di bawah Menteri Koordinator Kompartemen Perhubungan dengan Rakyat/Menteri Penerangan yang juga dipasrahi pengendalian , pengawasan dan pertanggungjawaban atas panitya sensor film dari Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan dan Yayasan Dana Film dari Menteri Perdagangan . Pengimporan, pengekporan, pembuatan dan peredaran film harus mendapat izin dari Menpen. Dengan jelas disebutkan pula bahwa film Indonesia harus  menjadi pembela , pendukung  penyebaran dasar-dasar dan ideologi Negara. Ini mempertegas bahwa antara film dan politik ada kaitan yang erat..

Menpen B.M.Diah (1967 – 1970)

Karena film di bawah naungan Menteri Penerangan, maka boleh dikata setiap menteri mengeluarkan kebijakan. Contohnya ketika masa  itu ekonomi Indonesia merosot sampai titik  terendah, maka dibuka lebar kran impor film , namun sekaligus memanfaatkan film impor ini untuk membantu tumbuhnya film Indonesia. Dampaknya semakin banyak importir film pasti terjadi persaingan dan meliat peluang ini banyak yang tiba-tiba berubah haluan ingin jadi importir. Persoalan pun timbul karena waktu itu bebas mengimpor sehingga terjadi rebutan. Bahkan ada importir mengincar film yang sama, meskipun peraturan pada waktu itu tidak  memungkinkan. Dengan bertambahnya film bertambah pula gedung bioskop dan rakyat di daerah dapat menikmati hiburan baik tontonan  sehat maupun yang tidak! Pada tahun 1967 , menjelang hari kemerdekaan, diadakan FFI, namun tidak ada film terbaik yang terpilih.

Film impor dikenakan ‘sumbangan wajib’ atas nama ‘sumbangan film impor untuk rehabilitasi film nasional , yang juga dikenal sebagai  ‘saham produksi’ sebesar Rp 250.000 (Dua ratus lima puluh ribu rupiah) untuk tiap judul film impor dan hanya boleh memasukkan 2 copy film. Sumbangan atau pun pungutan ‘sukarela terpaksa’ ini dikelola oleh Yayasan Film sedang pembuatan film percontohan dibiayai oleh dana tersebut diatur oleh Dewan Produksi Film Nasional  (DPFN) . Kebijakan ini memang mempunyai dampak  berkurangnya film asing, namun belum signifikan..  Pada waktu itu jumlah gedung bioskop mulai bertambah dan merambah sampai kota-kota kecil di daerah sehingga masyarakat mendapat hiburan dan sekaligus melupakan kesulitan hidup. Namun tetap terasa pedih bila membandingkan. film import berjumlah 459 pada tahun 1968 tetapi film ‘awak’ cuma 8 judul..

 Ada 4 film yang dibuat oleh DPFN, yaitu Mat Dower dan Nyi Ronggeng – yang kurang berhasil baik dari segi filmis maupun bisnis.  Walau demikian  terobati dengan film Apa Yang Kau Cari Palupi, yang berhasil menjadi The Best Picture dalam Festival Film Asia  tahun 1970 dan Si Jampang Mencari Naga Hitam yang berhasil menjadi film box office .Indonesia menjadi salah satu penggagas ide adanya Festival Film Asia pada tahun 1955.   Dalam kurun  3 tahun  ada 50 produksi film nasional, artinya tiap tahun lebih kurang 16 film diproduksi Untuk menolong perkembangan film Indonesia yang kalah bersaing dengan film impor, ada aturan mewajibkan  diputarnya film Indonesia  paling tidak satu kali dalam sebulan di bioskop golongan A, B 1 dan B II. Kalau bioskop golongan C sekurang-kurangna 4 minggu dalam 6 bulan. Artinya setiap bulan ada peruntukan waktu putar bagi film negeri sendiri. Bahkan semua importir harus membeli ‘saham produksi’. Paksaan halus ini menguntungkan kemajuan film nasional walau masih tetap tersendat.  Kebijakan demi kebijakan mengalir dan harapan majunya film Indonesia agar menjadi raja di negeri sendiri , namun kenyataannya belum  juga menggoyah dominasi film asing, yang banyak mengusung kekerasan dan seks

 Menpen Boediardjo (1971 – 1974 ) 

Pada masa Pak Boediardjo, kebijakan berganti lagi .Kali ini  atas nama  kemajuan film dalam negeri, ditetapkan quota film impor setiap tahun yang membatasi jumlah judulnya , namun jumlah  copy bertambah dari 2 menjadi 4 . Pak Budiardjo membentuk Badan Koordinasi Impor Film ( BKIF ) dengan 3 kelompok yaitu Mandarin, Eropa-Amerika dan Asia Non Mandarin, karena film asal negara ini sudah merambah di Indonesia dan disenangi penonton. Dewan Produksi Film Nasional ( DPFN ) dibubarkan karena film-film yang dibuat kualitasnya tak sebagaimana diharapkan tetapi  menggunakan  biaya banyak!

Yang memacu meningkatnya produksi film nasional adalah terbitnya SK Menpen No 71  tentang Modifikasi Dana SK 71 yaitu dengan memanfaatkan dana  untuk memberi kredit produksi untuk setiap judul film Indonesia yang memenuhi persyaratan sebesar Rp 7.500.500 ( Tujuhjuta limaratus ribu rupiah ). Memang upaya ini amat bagus dan menolong sekali serta menjanjikan,  namun sebagaimana biasa di dunia perkreditan di Indonesia , selalu ada dana yang macet dan kredit tidak kembali! Bagaimanapun juga kebijakan Menpen  merupakan peluang bagi film Indonesia untuk berkembang dan import film juga berkurang meskipun dalam jumlah tak signifikan.  Patut dicatat  adanya perkembangan pertumbuhan bioskop yang semakin jauh masuk sampai kota-kota kecil di daerah yang menjadi tempat bagi penggemar film Indonesia dan menjadi ajang hiburan murah meriah bagi rakyat.

Sementara itu FFI diadakan kembali pada tahun 1973. Ini berarti setelah 6 tahun absent dan diniatkan FFI akan diselenggarakan setiap tahun . Kali ini   piala untuk untuk FFI diberi nama CITRA.. Yang memilih nama Citra adalah Presiden  Suharto, yang bermakna fajar harapan yang diharapkan akan menumbuhkembangkan perfilman Indonesia. Film Perkawinan terpilih  sebagai Film Cerita Terbaik, Nayak dipilih sebagai Film Non Cerita dan Tapol Pulau Buru sebagai pemenang dalam katagori film Non Cerita Hitam Putih . Dipilihnya film Tapol Pulau Buru merupakan keberanian memproduksi sesuatu yang biaasanya tabu dan  ‘tanda’ bahwa kita harus berani menghadapi kenyataan bahwa di pulau kecil dan terpencil ada saudara-saudara kita yang dibuang sebagaimana Belanda memilih Boven Digoel untuk mengasingkan para perintis kemerdekaan, sebelum tahun 1930. Piala Citra ini sampai sekarang menjadi piala paling bergengsi di dunia perfilman kita dan insan film berusaha untuk meraihnya . Nama Citra ini juga pernah ada dalam perfilman kita. Usmar Ismail – empu film -pernah membuat drama Citra yang kemudian difilmkan dengan judul yang sama .Theme song  diciptakan oleh musisi besar, yaitu  Cornel Simanjuntak

Menpen Mahuri  ( tahun 1975-1977 )         

Di tahun 1974  sampai dengan 1992 FFI diadakan  secara berturut-turut setiap tahun. Di antara kota-kota yang pernah menjadi ajang FFI adalah Jakarta, Surabaya, Medan, Bandung, Ujung Pandang , Palembang, Semarang, Jogyakarta dan Denpasar. Dengan tidak memusatkan FFI di Jakarta berarti memberi kesempaan daerah  untuk mendorong pebisnis daerah lebih melirik peluang bisnis di bidang perfilman dan masyarakat juga mendapat peluang bertemu bintang dan insan perfilman. Ini prestasi yang luar biasa dan mempunyai makna kesinambungan FFI. Namun setelah ini terjadi kevakuman lagi…

Kebijakan demi kebijakan tak pernah abadi dan selalu diupayakan perbaikan. Artinya selalu ada perubahan . ‘Wajib setor saham produksi’ diubah menjadi ‘wajib produksi’. Aturannya untuk dapat memasukkan 5 judul film impor harus memproduksi dulu 1 film Indonesia. Secara bergurau disebut wajib 5:1. Kemudian  diperketat menjadi 3 : 1. BKIF dibubarkan dang anti nama jadi Konsursium . Diubah konsorsium  dari 3  menjadi 4 dengan menetapkan kelompok Eropa Amerika I dan II. Tersirat bahwa semakin banyak ( walau dibatasi ) importir film dari Amerika, dan kebijakan ini juga bisa ditafsirkan  berbagi rejeki antar importir. Menteri Mashuri  menghentikan kebijakan ‘wajib setor saham produksi’ tetapi  sebagai gantinya mewajibkan importir film memproduksi film Indonesia. Walau ada kewajiban  membuat 1 film , jumlah judl tetap dibatasi dengan quota . Di bawah Menpen Mashuri  ada kesepakatan Kebijakan 3 Menteri ( Menpen, Mendagri dan Mendikbud ) tentang wajib putar dan wajib edar film Indonesia di bioskop.  Karena ada kewajiban dan keharusan, mau tak mau film Indonesia harus diputar di gedung bioskop . Namun karena  bisnis ya  masih  mendahulukan memutar film asing yang laris dibanding film nasional. Kewajiban memutar film Indonesia dilksanakan sekedar memenuhi prosedur, dan tiga - empat hari kemudian film Indonesia diturunkan lagi dan diganti  film asing! Dalam hitungan bisnis memang  film impor   jauh lebih laris dan menguntungkan  daripada susah-susah membuat film Idonesia.Tak heran bila film nasionalnya ya asal jadi saja. Ya, pebisnis mana yang mau rugi?

Bila membandingkan  antara film asing dan Indonesia pada kurun waktu tahun

1974 -  1980 : Film Indonesia 507 dan film asing 2317 , artinya film Indonesia kurang dari seperempatnya film asing. Hal ini menggelitik nurani para insan film yang khawatir melihat perkembangan film impor. Rupanya penonton senang film yang tidak Indonesiawi yang  marak dengan adegan sex dan kekerasan dan keinginan pasar ini diikuti oleh sebagian produser film kita.  Pada akhir tahun 1980 MMPI (Majelis Musyawarah Perfilman Indonesia) yang anggotanya terdiri dari  PPFI (Persatuan Perusahaan Film Indonesia), PARFI (Persatuan Artis Film Indonesia) KFT (Kesatuan Karyawan Film dan Teve),  terusik dan tumbuh keiinginan mencegah perkembangan yang tak sehat ini. Insan film harus punya Kode Etik Film. Apalagi dirasa adanya tumpang tindih antara BSF , dan ketidak taatan terhadap peraturan dari sebagian insan film . Ada film yang sudah dipotong tetapi disambung lagi, atau penailan batas  umur tak ditepati oleh pengusaha bioskop

 Pada tahun 1981 untuk pertama kali diadakan seminar Kode Etik Produksi Film Indonesia di Jakarta oleh insan perfilman .Dari seminar itu mengental ide   tentang  pentingnya Kode Etik Film , agar dapat meminimalkan dampak tontonan yang ranum dengan sex.  Dengan kode etik diharapkan  para insan film sejak  awal produksi  sudah menerapkan kode etik dan mampu menyaring sendiri  , sehingga adegan yang tidak Indonesiawi tak perlu digunting oleh Badan Sensor Film karena sudah ditiadakan oleh sutradara dan produser. Dengan demikian kreatifitas yang dianut oleh insan kreatif tak akan  dipasung .

Seminar menghasilkan 5 butir pemikiran yang menjadi jiwa  insan perfilman,  yaitu:

§         Film Indonesia seharusnya memiliki tema sentral mengenai situasi dan kondisi manusia Indonesia yang menjadi sifat dan ciri khas kepribadian dalam lingkungan yang wajar.

§         Film merupakan hiburan yang membuat luhur pikiran ,mental, rohani dan cita-cita .

§         Film sebagai produksi kebudayaan dapat mendorong masyarakat untuk memelihara dan memupuk kebudayaan yang dimilikinya sebagai proses humanisasi..

§         Larangan terhadap penyajian adegan-adegan yang berefek pada penurunan nilai-nilai moral penonton.

§         Dalam penampilan kontradiksi dramatik antara kebaikan dan kejahatan perimbangan jumlah adegan minimal harus sama.

Kode Etik yang dihasilkan  juga dimaksudkan untuk menjaga susila manusia Indonesia. Tercermin aturan mana yang boleh dan mana yang harus dihindari karena bisa menyinggung tata susila dan budaya Indonesia.

§         Kesucian lembaga pernikahan dan rumah tangga harus dijunjung tinggi.

§         Tidak membenarkan dan menganggap wajar hubungan seks liar/bebas di luar        pernikahan yang sah..

§         Dikecualikan apabila  adegan perzinahan ( hubungan seks di luar hukum) sangat diperlukan untuk membangun  konstruksi dramatik. Namun adegan ini tidak boleh disajikan dengan terang-terangan namun harus diungkapkan  secara artistik  dan teknik dalam bentuk  metafora.

§         Dilarang dengan terang-terangan menyajikan nafsu birahi (ciuman merangsang dengan mulut terbuka, pelukan penuh hawa nafsu, sikap dan perbuatan yang menimbulkan rangsangan seks yang rendah).

§         Dilarang menampilkan adegan rayuan untuk melakukan hubungan seks/perkosaan secara terinci , kecuali jika terpaksa demi konstruksi dramatik namun  harus berfungsi bahwa perbuatan tersebut dilarang oleh agama dan dapat menimbulkan akibat buruk ( bagi yang menirunya).

§         Dilarang adegan tarian/gerak-gerik/isyarat tubuh yang menggugah asosiasi penonton pada kegiatan seksual yang menimbulkan kesan kecabulan.

§         Dilarang menyajikan adegan dengan pakaian terlalu minim yang dapat merangsang nafsu birahi.

§         Dilarang menyajikan adegan telanjang bulat, sungguhpun dalam bentuk samar-samar, bahkan dalam bentuk imajinasi yang ditampilkan melalui reaksi yang tidak senonoh para pelakunya.

§          Dilarang menampilkan adegan penelanjangan yang tidak perlu dan tidak senonoh termasuk kehidupan nyata dari orang pribumi suatu negara asing (kecuali untuk film pendidikan dan dokumenter, dengan syarat tidak menimbulkan kesan memuakkan).

§         Dilarang menampilkan cara dan teknik pelacuran serta perbudakan wanita (kecuali dalam konteks kutukan dan harus ditampilkan dengan metode simbolis ).

§         Dilarang menampilkan aborsi sebagai tema cerita (kecuali dalam konteks pencegahan, kutukan dan ditampilkan dengan metode simbolik). Tidak boleh disajikan sebagai bahan komedi.

§         Dilarang menampilkan adegan-adegan : seksual dalam kamar tidur; hukuman mati; operasi pembedahan serta kelahiran bayi; cara penyuntikan atau penggunaan narkotika (apabila terpaksa demi tuntutan cerita harus dengan penuh pertimbangan dan hati-hati).

§         Dilarang menjadikan kesehatan seks dan penyakit kelamin sebagai tema sentral sebuah cerita film (kecuali untuk tujuan edukatif).

§         Dilarang menampilkan alat seks atau kelamin, ketelanjangan dalam wujud nyata atau dalam bentuk imajinasi. Bentuk tubuh dilarang ditampilkan secara berlebihan dan tidak senonoh (kecuali untuk bayi dan anak-anak di bawah umur).

§         Kelainan seks (hubungan seks tidak wajar/murtad) hanya boleh ditampilkan secara terselubung. Kehidupan seks hewan dilarang, kecuali untuk tujuan edukasi.

Karena Kode Etik disusun sendiri oleh para praktisi dan seniman film tentu saja diharapkan ditaati dan bila dilanggar , akibatnya akan menimbulkan beban moral. Apabila   Kode Etik Produksi Film Indonesia dilaksanakan dengan jujur, benar dan nalar, maka dijamin klasifikasi film Indonesia akan terjadi secara wajar dan alamiah, tidak perlu diatur-atur lagi. Tetapi kenyataannya toh masih ada  yang tak menaati kode etiknya sendiri, bahkan merasakan bahwa regulasi akan mengekang kreatifitas, sebab  film sudah memasuki area bisnis yang menjanjikan  dan harus berani bersaing dan meniru apa yang digemari  meskipun berlawanan dengan Kode Etik yang dibuat sendiri. 

 Menpen Ali Murtopo (1978 – 1983)

Pak Ali memang seorang ‘idealis dan nasionalis sejati ‘. Ada ketentuan bahwa film Indonesia harus Kultural Edukatif. Tentu saja tafsir kultural edukatif bisa bias . Semua pruduser pasti merasa film yang dibuatnya adalah film yang cultural edukatif. Wajib produksi dihapus namun sebagai gantinya dikenakan wajib sumbang atas nama Dana Sertifikat Produksi sebesar Rp 2.500.000 (Dua juta lima ratus ribu rupiah) bagi tiap judul film yang diimpor. Uang ini untuk meningkatkan apresiaasi film sekaligus juga untuk membiayai produksi film percontohan. Pada masa itu ditetapkan  Pola Dasar Pembinaan & Pengembangan Perfilman Nasional ( P4N).  Kita lihat di tahun  1983 , diproduksi antara lain film Apanya dong (Inem Film) , Aryo Penangsang (Cancer Mas Film) Banteng Mataram (Kanta Indah Film) Barang Terlarang (Rapi Film), Budak Nafsau (Soraya Intercine Film) Cinta Semalam ( Inem Film) Durjana Pemetik Bunga (PT Inem Film) Gepeng Mencari Untung (Cipta Permai Indah Film, Ke Ujung Dunia (Katarindo Citra Gemilang) dan lain-lain. 

Menpen Harmoko ( 1983-1996 )

Lepas dari Menpen Ali Moertopo , diganti Menpen Harmoko yang memegang rekor paling lama (selama 13 tahun dari 1983–1996) menjadi menteri.. Bung Moko  dikenal  dekat dengan rakyat dan mampu menjalin komunikasi sampai ke pelosok desa , maka tak heran bila masyarakat di pelosok bisa menikmati film dari bioskop keliling yang memutar film Indonesia. Dipopulerkan jargon film Indonesia harus bersifat Tontonan yang sehat sekaligus Jadi Tuntunan. Dana Sertifikat Produksi yang semula Rp 2,5 juta diubah menjadi Rp 3. 500.000 (Tiga juta limaratus ribu rupiah) dan masih pula dipungut Rp 1.000.000 (satu juta rupiah) untuk setiap tambahan copy film jumlah maksimal 10 copy. Apa makna tambahan copy ini ? Berarti bahwa film impor masih tetap banyak yang menggemarinya dan jumlah bioskop juga bertambah., Walau diupayakan quota film impor dibatasi tetapi toh  perkembangan film dalam negeri  masih kalah jumlah,    

Adanya  Festival Film Indonesia  dipercaya bisa  menjadi pemacu dan pemicu tumbuhya perfilman Indonesia , maka diupayakan terselenggara secara teratur. Karena itu ada Panitya Tetap ( Pantap ) FFI. Dengan demikian diharapkan festival film  dapat direncanakan dan dilaksanakan secara teratur pula.  Dengan upaya ini  apresiasi masyarakat terhadap film Indonesia secara pelan meningkat. Diadakan juga kerjasama sesama anggota negara Asean, bahkan pada waktu itu kebijakan perfilman kita menjadi model bagi sesama Negara Asean. Mulailah rakyat menyukai film Jepang yang membawa  warna baru, Thailand, dan produk Asia lainnya. Dewan Film Nasional dilanjutkan dan diberdayakan karena film mulai terasa getarnya untuk pembangunan bangsa…Ternyata jumlah film Indonesia juga secara bertahap meningkat. Di samping ini kebijakan yang ditrapkan juga secara tidak langsung  menyebabkan semakin kukuh bahkan dikendalikan oleh group.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar