Jumat, 28 Januari 2011

19 Politisi Digelandang ke Penjara

19 Politisi Digelandang ke Penjara
Paskah Suzetta mempertanyakan kenapa penyuap tidak ditahan.
Jum'at, 28 Januari 2011, 21:43 WIB
Arry Anggadha, Dedy Priatmojo, Aries Setiawan
VIVAnews - Penyidikan kasus dugaan suap pemilihan Deputi Gubernur Senior (DGS) Bank Indonesia (BI) memasuki tahap baru. Setelah kasus ini terungkap pertama kali pada pertengahan tahun 2008, akhirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hari ini menahan 19 politisi menjadi tersangka baru.

Penahanan dilakukan setelah mereka menjalani pemeriksaan sejak pukul 10.00, Jumat 28 Januari 2011. Dari 24 tersangka yang dipanggil KPK, hanya 19 anggota Komisi Keuangan DPR periode 1999-2004 yang memenuhi panggilan. Lima tersangka lainnya tidak datang.

Dua tersangka yakni Williem M Tutuarima dan Bobby SH Suhardiman menyatakan tidak dapat hadir lantaran sedang sakit. Tiga tersangka yakni Hengky Baramuli, Budiningsih, dan Rusman Lumbantoruan tidak hadir tanpa keterangan. Sedangkan satu tersangka, yakni Panda Nababan harus dijemput ke Bandara Soekarno Hatta untuk menjalani pemeriksaan.

Setelah menjalani pemeriksaan sekitar lima jam, dua tersangka yakni Ni Luh Mariani Tirtasari dan Engelina Pattiasina langsung ditahan di Rutan khusus wanita Pondok Bambu.

Setelah itu, berturut-turut KPK menahan Paskah Suzetta, Soetanto Pranoto, Poltak sitorus, Sofyan usman, HM Danial Tanjung, Matheos Pormes, Achmad Hafiz Zawawi, Martin Bria Seran, dan M Iqbal. Mereka dititipkan di Rutan Cipinang.

Gelombang selanjutnya, giliran yakni Soewarno, Baharudin Aritonang, TM Nurliff, Asep Ruchimat Sudjana, dan Reza kamarullah, yang dibawa ke Rutan Salemba.

Dan tahap terakhir Panda Nababan, Agus Condro, dan Max Moein, . Mereka dititipkan di Rutan Salemba.

Sebenarnya KPK menetapkan 26 legislator sebagai tersangka. Namun, satu tersangka, Jeffrey Tongas Lumban Batu, meninggal dunia setelah ditetapkan sebagai tersangka. Sedangkan Anthony Zeidra Abidin sudah ditahan terlebih dahulu karena terbukti menerima suap dalam kasus aliran dana BI.

KPK menduga para politisi yang berasal dari Fraksi Golkar, Fraksi PDI Perjuangan, dan Fraksi PPP menerima suap usai memilih Miranda Swaray Goeltom sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia pada 2004.

KPK menyangkakan para mantan anggota DPR itu melanggar ketentuan mengenai penyuapan yakni Pasal 5 ayat (2) jo Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, atau Pasal 11 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) kesatu Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

*****

Kasus ini mencuat sejak pengakuan Agus Condro Prayitno, mantan anggota Komisi Keuangan dan Perbankan DPR pada pertengahan 2008. Mantan politisi PDI Perjuangan ini mengaku menerima 10 lembar cek perjalanan senilai Rp500 juta usai memilih Miranda Swaray Goeltom.

Cek perjalanan yang dikeluarkan Bank Internasional Indonesia (BII) itu juga diterima oleh anggota dewan lainnya yang juga telah memilih Miranda sebagai Deputi Gubernur Senior BI menggantikan Anwar Nasution. Dalam pemilihan, dari 59 anggota Komisi yang hadir, 41 orang memilih Miranda.

KPK kemudian mendapatkan tambahan data dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. PPATK menemukan adanya sekitar 400 cek yang mengalir usai Miranda terpilih. 400 Cek itu disinyalir diterima 41 anggota Komisi Keuangan dan Perbankan pada 2004.

Empat politisi yakni Dudhie Makmun Murod (politisi PDI Perjuangan), Udju Juhaeri (mantan anggota Fraksi TNI/Polri), Endin AJ Soefihara (politisi PPP), dan Hamka Yandhu (politisi Golkar) menjadi tersangka dalam gelombang pertama. KPK menyangkakan keempat politisi itu menerima cek perjalanan usai pemilihan Miranda Goeltom.

Empat mantan politisi itu pun akhirnya divonis dengan hukuman berbeda. Hamka Yandhu divonis dua tahun enam bulan penjara, Endin AJ Soefihara divonis tiga tahun tiga bulan penjara, Dudhie Makmoen Murod divonis dua tahun penjara, dan Udju Djuhaeri divonis dua tahun penjara. Mereka dinyatakan terbukti menerima cek perjalanan bersama dengan rekan-rekannya di fraksinya masing-masing.

Dalam pertimbangan putusannya, Majelis Hakim Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa uang yang diterima Dudhie Makmun Murod cs berasal dari Komisaris PT Wahana Esa Sejati, Nunun Nurbaeti Daradjatun.

Salah satu anggota hakim, Slamet Subagio membacakan bahwa pada Juni 2004 sekitar pukul 10.00-11.00 WIB ada percakapan antara Nunun dan stafnya, Ahmad Hakim Safari atau Arie Malang Judo.

Meski Nunun tidak bisa dihadirkan dalam sidang untuk mengonfirmasi percakapan ini, menurut Slamet, "Percakapan ini sudah dibenarkan oleh saksi Arie Malang Judo."

Dalam pertemuan di ruang kerjanya, Nunun yang juga istri mantan Wakapolri Adang Daradjatun ini mengatakan, "Tolong bantu saya memberikan tanda terima kasih kepada anggota Dewan," kepada Arie.

Dudhie, menurut majelis hakim, lalu diperintahkan oleh Sekretaris Fraksi PDIP saat itu untuk bertemu dengan Arie Malang Judo di restoran Bebek Bali, Senayan. Dalam pertemuan itu, Dudhie menerima Rp 9,8 miliar. Uang ini, menurut hakim, kemudian dibagi-bagi ke anggota Fraksi PDIP di Komisi Keuangan periode 1999-2004.

Namun Miranda berkali-kali menegaskan dia tidak pernah menjanjikan anggota Komisi Keuangan DPR periode 1999-2004 memberikan uang saat dirinya terpilih menjadi Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia pada 2004.

*****

Meski Hakim Pengadilan Tipikor menyebutkan peran Nunun Daradjatun dalam kasus ini, namun hingga kini istri anggota Komisi Hukum DPR dari Fraksi PKS Adang Daradjatun itu belum juga dijerat dalam kasus cek pemilihan Miranda ini.

Selama persidangan Dudhie Murod cs, terungkap bahwa Miranda Goeltom mengaku mengenal dekat Nunun Nurbaeti Daradjatun. Namun, Miranda membantah membuat kesepakatan dengan Nunun untuk menyuap anggota DPR.

"Putrinya Bu Nunun bersekolah dengan anak saya di San Fransisco, kalau makan saya undang, dari situ saya kenal" kata Miranda saat bersaksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis 1 April 2010. Miranda bersaksi untuk terdakwa Dudhie Makmun Murod.

Selain itu, Miranda mengaku dia dekat dengan Nunun karena tergabung dalam komunitas sosialita orang kaya. "Kami sering berkumpul dan mengadakan acara bersama," jelasnya.

Saat ditanya hakim apakah pernah menjanjikan memberikan jabatan sebagai ketua GABSI kepada Nunun, Miranda mengaku lupa. "Saya tidak ingat.

Pengadilan Tipikor dan KPK pun sudah berulang kali memanggil Nunun. Namun, Nunun tidak pernah dapat hadir. Nunun Daradjatun pernah diperiksa KPK pada saat kasus ini berada dalam tahap penyelidikan. Namun pada tahap penyidikan, Nunun belum juga diperiksa dengan alasan sakit lupa berat.

Dokter Andreas Harry, dokter yang merawat Nunun, menceritakan sejarah penyakit pelupa berat Nunun itu. Menurutnya, Nunun divonis menderita amnesia berat sejak September tahun 2006. "Saya menangani ibu Nunun sudah 3,5 tahun, mulai dari gejala awal sampai saat ini," kata Andreas.

Awalnya Ibu Nunun datang dengan keluhan sakit di sekujur badan. Lalu pada 25 Juli 2009, ibu Nunun mengalami stroke sebelah kiri. Setelah berhasil disembuhkan, Ibu Nunun mengalami Amnesia pada 15 November 2009 oleh dr Sidiarto Kusumoputro.

Amnesia yang diderita Ibu Nunun, papar dr Andreas, merupakan penyakit yang muncul paska stroke. Setelah itu, pada 2 dan 15 Maret 2010, Ibu Nunun menjalani Physical Matric Testing di Singapura. Dan hasilnya, memory diclyne atau gangguan fungsi memori otak.

*****

Penahanan terhadap 19 politisi itu mengundang kecaman dari pihak tersangka. Misalnya saja dari Paskah Suzetta. Mantan  Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bapenas itu menilai KPK tidak adil dalam mengusut kasus suap ini. "Saya melihat ini konstruksi hukumnya dipaksakan, karena saya tidak tahu ini negara hukum atau karena pecitraan," kata Paskah.

Menurutnya, KPK juga harus menjerat pihak yang diduga menjadi penyuap. Karena hingga kini pihak penyuap belum juga dijerat KPK.

Politisi senior PDI Perjuangan, Gayus Lumbuun pun melontarkan protes keras. Terlebih lagi dengan tindakan KPK yang menjemput paksa Panda Nababan di Bandara Soekarno Hatta saat hendak ke Batam.

"Partai dirugikan. Kenapa KPK tidak dengan santun melakukan penegakan hukum. Tindakan KPK itu sangat kasar secara hukum," kata Gayus.

Usai penahanan ini, KPK pun berjanji mulai membidik siapa saja yang berperan sebagai pemberi cek tersebut pekan depan. "Ini kan dalam proses pengembangan penyidikan. Setelah proses ini selesai, fokus kami adalah siapa pemberinya," kata juru bicara KPK, Johan Budi SP. "Mungkin pekan depan, proses itu (pemberi cek) kami mulai lagi untuk pengembangan."

Dia mengakui, menjerat pemberi suap tidak mudah karena harus berdasarkan dua alat bukti agar bisa dilanjutkan sampai ke pengadilan. Sebenarnya, lingkaran pemberi cek ini sudah terungkap beberapa kali dalam sidang para terdakwa penerima cek.

Dalam persidangan empat mantan legislator, Kepala Seksi Traveller Cheque BII, Krisna Pribadi, mengungkapkan bahwa PT First Mujur adalah pembeli dari 480 cek perjalanan ke Bank Internasional Indonesia (BII). Nilai cek perjalanan itu Rp24 miliar.

KPK pun sudah memeriksa sejumlah pihak terkait termasuk mencegah mereka bepergian ke luar negeri.

KPK meminta Direktorat Jenderal Imigrasi mencekal Direktur Utama Artha Graha, Andy Kasih. Selain itu, KPK juga meminta imigrasi mencekal dua orang dari PT First Mujur Plantation and Industry, Hidayat Lukman dan Budi Santoso. "Pencekalan efektif sejak 24 September. Dia dicekal terkait laporan Agus Condro," kata Direktur Penyidikan dan Penindakan Direktorat Jenderal Imigrasi, Saiful Rachman, pada 26 September 2008. (sj)
• VIVAnews
Rating






Kontak Kami | Tentang Kami | Disclaimer | Lowongan
Copyright © 2011 PT. Visi Media Asia - News & Community Portal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar