Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Hak cipta (lambang internasional: 
©, Unicode: U+00A9)  adalah hak eksklusif Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengatur  penggunaan hasil penuangan gagasan atau informasi tertentu. Pada  dasarnya, hak cipta merupakan "hak untuk menyalin suatu ciptaan". Hak  cipta dapat juga memungkinkan pemegang hak tersebut untuk membatasi  penggandaan tidak sah atas suatu ciptaan. Pada umumnya pula, hak cipta  memiliki masa berlaku tertentu yang terbatas.
Hak cipta berlaku pada berbagai jenis karya seni atau karya cipta atau "ciptaan". Ciptaan tersebut dapat mencakup 
puisi, 
drama, serta 
karya tulis lainnya, 
film, karya-karya 
koreografis (
tari, 
balet, dan sebagainya), 
komposisi musik, 
rekaman suara, 
lukisan, 
gambar, 
patung, 
foto, 
perangkat lunak komputer, 
siaran radio dan 
televisi, dan (dalam yurisdiksi tertentu) 
desain industri.
Hak cipta merupakan salah satu jenis 
hak kekayaan intelektual, namun hak cipta berbeda secara mencolok dari 
hak kekayaan intelektual lainnya (seperti 
paten, yang memberikan hak 
monopoli atas penggunaan 
invensi),  karena hak cipta bukan merupakan hak monopoli untuk melakukan sesuatu,  melainkan hak untuk mencegah orang lain yang melakukannya.
Hukum  yang mengatur hak cipta biasanya hanya mencakup ciptaan yang berupa  perwujudan suatu gagasan tertentu dan tidak mencakup gagasan umum,  konsep, fakta, gaya, atau teknik yang mungkin terwujud atau terwakili di  dalam ciptaan tersebut. Sebagai contoh, hak cipta yang berkaitan dengan  tokoh 
kartun Miki Tikus  melarang pihak yang tidak berhak menyebarkan salinan kartun tersebut  atau menciptakan karya yang meniru tokoh tikus tertentu ciptaan 
Walt Disney tersebut, namun tidak melarang penciptaan atau karya seni lain mengenai tokoh tikus secara umum.
Di 
Indonesia, masalah hak cipta diatur dalam 
Undang-undang Hak Cipta, yaitu, yang berlaku saat ini, Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002. Dalam 
undang-undang tersebut, pengertian 
hak cipta  adalah "hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan  atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan  tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan  perundang-undangan yang berlaku" (pasal 1 butir 1).
[sunting] Sejarah hak cipta
Konsep hak cipta di 
Indonesia merupakan terjemahan dari konsep 
copyright dalam 
bahasa Inggris (secara harafiah artinya "hak salin"). 
Copyright ini diciptakan sejalan dengan penemuan mesin 
cetak. Sebelum penemuan mesin ini oleh 
Gutenberg,  proses untuk membuat salinan dari sebuah karya tulisan memerlukan  tenaga dan biaya yang hampir sama dengan proses pembuatan karya aslinya.  Sehingga, kemungkinan besar para penerbitlah, bukan para pengarang,  yang pertama kali meminta perlindungan 
hukum terhadap karya cetak yang dapat disalin.
Awalnya, hak monopoli tersebut diberikan langsung kepada penerbit  untuk menjual karya cetak. Baru ketika peraturan hukum tentang 
copyright mulai diundangkan pada tahun 
1710 dengan 
Statute of Anne  di Inggris, hak tersebut diberikan ke pengarang, bukan penerbit.  Peraturan tersebut juga mencakup perlindungan kepada konsumen yang  menjamin bahwa penerbit tidak dapat mengatur penggunaan karya cetak  tersebut setelah transaksi jual beli berlangsung. Selain itu, peraturan  tersebut juga mengatur masa berlaku hak eksklusif bagi pemegang 
copyright, yaitu selama 28 tahun, yang kemudian setelah itu karya tersebut menjadi 
milik umum.
Berne Convention for the Protection of Artistic and Literary Works ("Konvensi Bern tentang Perlindungan Karya 
Seni dan 
Sastra" atau "
Konvensi Bern") pada tahun 
1886 adalah yang pertama kali mengatur masalah 
copyright antara negara-negara berdaulat. Dalam konvensi ini, 
copyright diberikan secara otomatis kepada karya cipta, dan pengarang tidak harus mendaftarkan karyanya untuk mendapatkan 
copyright. Segera setelah sebuah karya dicetak atau disimpan dalam satu media, si pengarang otomatis mendapatkan hak eksklusif 
copyright  terhadap karya tersebut dan juga terhadap karya derivatifnya, hingga si  pengarang secara eksplisit menyatakan sebaliknya atau hingga masa  berlaku 
copyright tersebut selesai.
[sunting] Sejarah hak cipta di Indonesia
Pada tahun 
1958, 
Perdana Menteri Djuanda menyatakan Indonesia keluar dari 
Konvensi Bern agar para intelektual Indonesia bisa memanfaatkan hasil karya, cipta, dan karsa bangsa asing tanpa harus membayar royalti.
Pada tahun 
1982, 
Pemerintah Indonesia mencabut pengaturan tentang hak cipta berdasarkan 
Auteurswet 1912 Staatsblad Nomor 600 tahun 
1912  dan menetapkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, yang  merupakan undang-undang hak cipta yang pertama di Indonesia
[1]. Undang-undang tersebut kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 
1987, Undang-undang Nomor 12 Tahun 
1997, dan pada akhirnya dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 yang kini berlaku.
Perubahan undang-undang tersebut juga tak lepas dari peran 
Indonesia dalam pergaulan antarnegara. Pada tahun 
1994, pemerintah meratifikasi pembentukan 
Organisasi Perdagangan Dunia (
World Trade Organization – WTO), yang mencakup pula 
Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Propertyrights - 
TRIPs  ("Persetujuan tentang Aspek-aspek Dagang Hak Kekayaan Intelektual").  Ratifikasi tersebut diwujudkan dalam bentuk Undang-undang Nomor 7 Tahun  1994. Pada tahun 
1997, 
pemerintah meratifikasi kembali 
Konvensi Bern melalui Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1997 dan juga meratifikasi 
World Intellectual Property Organization Copyrights Treaty ("Perjanjian Hak Cipta WIPO") melalui Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1997
[2].
[sunting] Hak-hak yang tercakup dalam hak cipta
[sunting] Hak eksklusif
Beberapa hak eksklusif yang umumnya diberikan kepada pemegang hak cipta adalah hak untuk:
- membuat salinan atau reproduksi ciptaan dan menjual hasil salinan tersebut (termasuk, pada umumnya, salinan elektronik),
 
- mengimpor dan mengekspor ciptaan,
 
- menciptakan karya turunan atau derivatif atas ciptaan (mengadaptasi ciptaan),
 
- menampilkan atau memamerkan ciptaan di depan umum,
 
- menjual atau mengalihkan hak eksklusif tersebut kepada orang atau pihak lain.
 
Yang dimaksud dengan "hak eksklusif" dalam hal ini adalah bahwa hanya  pemegang hak ciptalah yang bebas melaksanakan hak cipta tersebut,  sementara orang atau pihak lain dilarang melaksanakan hak cipta tersebut  tanpa persetujuan pemegang hak cipta.
Konsep tersebut juga berlaku di 
Indonesia. Di Indonesia, hak eksklusif pemegang hak cipta termasuk "kegiatan menerjemahkan, mengadaptasi, 
mengaransemen, mengalihwujudkan, menjual, menyewakan, meminjamkan, mengimpor, memamerkan, mempertunjukkan kepada publik, 
menyiarkan, merekam, dan mengkomunikasikan ciptaan kepada publik melalui sarana apapun"
[2].
Selain itu, dalam 
hukum  yang berlaku di Indonesia diatur pula "hak terkait", yang berkaitan  dengan hak cipta dan juga merupakan hak eksklusif, yang dimiliki oleh  pelaku karya 
seni (yaitu 
pemusik, 
aktor, 
penari,  dan sebagainya), produser rekaman suara, dan lembaga penyiaran untuk  mengatur pemanfaatan hasil dokumentasi kegiatan seni yang dilakukan,  direkam, atau disiarkan oleh mereka masing-masing (UU 19/2002 pasal 1  butir 9–12 dan bab VII). Sebagai contoh, seorang 
penyanyi berhak melarang pihak lain memperbanyak rekaman suara nyanyiannya.
Hak-hak eksklusif yang tercakup dalam hak cipta tersebut dapat dialihkan, misalnya dengan 
pewarisan  atau perjanjian tertulis (UU 19/2002 pasal 3 dan 4). Pemilik hak cipta  dapat pula mengizinkan pihak lain melakukan hak eksklusifnya tersebut  dengan 
lisensi, dengan persyaratan tertentu (UU 19/2002 bab V).
[sunting] Hak ekonomi dan hak moral
Banyak negara mengakui adanya hak moral yang dimiliki pencipta suatu ciptaan, sesuai penggunaan Persetujuan 
TRIPs WTO (yang secara 
inter alia juga mensyaratkan penerapan bagian-bagian relevan 
Konvensi Bern).  Secara umum, hak moral mencakup hak agar ciptaan tidak diubah atau  dirusak tanpa persetujuan, dan hak untuk diakui sebagai pencipta ciptaan  tersebut.
Hak cipta di Indonesia juga mengenal konsep "hak ekonomi" dan "hak  moral". Hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas  ciptaan, sedangkan hak moral adalah hak yang melekat pada diri pencipta  atau pelaku (seni, rekaman, siaran) yang tidak dapat dihilangkan dengan  alasan apa pun, walaupun hak cipta atau hak terkait telah dialihkan
[2].  Contoh pelaksanaan hak moral adalah pencantuman nama pencipta pada  ciptaan, walaupun misalnya hak cipta atas ciptaan tersebut sudah dijual  untuk dimanfaatkan pihak lain. Hak moral diatur dalam pasal 24–26  Undang-undang Hak Cipta.
[sunting] Perolehan dan pelaksanaan hak cipta
 
  Hak cipta gambar potret "penduduk asli 
Bengkulu" yang diterbitkan pada tahun 
1810 ini sudah habis masa berlakunya.
  Pada umumnya, suatu ciptaan haruslah memenuhi standar minimum agar  berhak mendapatkan hak cipta, dan hak cipta biasanya tidak berlaku lagi  setelah periode waktu tertentu (masa berlaku ini dimungkinkan untuk  diperpanjang pada yurisdiksi tertentu).
[sunting] Perolehan hak cipta
Setiap negara menerapkan persyaratan yang berbeda untuk menentukan  bagaimana dan bilamana suatu karya berhak mendapatkan hak cipta; di 
Inggris misalnya, suatu ciptaan harus mengandung faktor "keahlian, keaslian, dan usaha". Pada sistem yang juga berlaku berdasarkan 
Konvensi Bern,  suatu hak cipta atas suatu ciptaan diperoleh tanpa perlu melalui  pendaftaran resmi terlebih dahulu; bila gagasan ciptaan sudah terwujud  dalam bentuk tertentu, misalnya pada medium tertentu (seperti 
lukisan, 
partitur lagu, 
foto, 
pita video, atau 
surat),  pemegang hak cipta sudah berhak atas hak cipta tersebut. Namun  demikian, walaupun suatu ciptaan tidak perlu didaftarkan dulu untuk  melaksanakan hak cipta, pendaftaran ciptaan (sesuai dengan yang  dimungkinkan oleh hukum yang berlaku pada yurisdiksi bersangkutan)  memiliki keuntungan, yaitu sebagai bukti hak cipta yang sah.
Pemegang hak cipta bisa jadi adalah orang yang memperkerjakan  pencipta dan bukan pencipta itu sendiri bila ciptaan tersebut dibuat  dalam kaitannya dengan hubungan dinas. Prinsip ini umum berlaku;  misalnya dalam hukum Inggris (
Copyright Designs and Patents Act  1988) dan Indonesia (UU 19/2002 pasal 8). Dalam undang-undang yang  berlaku di Indonesia, terdapat perbedaan penerapan prinsip tersebut  antara lembaga pemerintah dan lembaga swasta.
[sunting] Ciptaan yang dapat dilindungi
Ciptaan yang dilindungi hak cipta di Indonesia dapat mencakup misalnya 
buku, 
program komputer, 
pamflet, perwajahan (
lay out) karya tulis yang diterbitkan, 
ceramah, 
kuliah, 
pidato, alat peraga yang dibuat untuk kepentingan 
pendidikan dan 
ilmu pengetahuan, 
lagu atau 
musik dengan atau tanpa teks, 
drama, 
drama musikal, 
tari, 
koreografi, 
pewayangan, 
pantomim, 
seni rupa dalam segala bentuk (seperti 
seni lukis, 
gambar, 
seni ukir, seni 
kaligrafi, 
seni pahat, 
seni patung, 
kolase, dan seni terapan), 
arsitektur, 
peta, seni 
batik (dan karya tradisional lainnya seperti seni 
songket dan seni 
ikat), 
fotografi, 
sinematografi, dan tidak termasuk 
desain industri (yang dilindungi sebagai 
kekayaan intelektual  tersendiri). Ciptaan hasil pengalihwujudan seperti terjemahan, tafsir,  saduran, bunga rampai (misalnya buku yang berisi kumpulan karya tulis,  himpunan lagu yang direkam dalam satu media, serta komposisi berbagai  karya tari pilihan), dan 
database dilindungi sebagai ciptaan tersendiri tanpa mengurangi hak cipta atas ciptaan asli (UU 19/2002 pasal 12).
[sunting] Penanda hak cipta
Dalam yurisdiksi tertentu, agar suatu ciptaan seperti 
buku atau 
film mendapatkan hak cipta pada saat diciptakan, ciptaan tersebut harus memuat suatu "pemberitahuan hak cipta" (
copyright notice). Pemberitahuan atau pesan tersebut terdiri atas sebuah huruf c di dalam lingkaran (yaitu lambang hak cipta, ©), atau kata "
copyright",  yang diikuti dengan tahun hak cipta dan nama pemegang hak cipta. Jika  ciptaan tersebut telah dimodifikasi (misalnya dengan terbitnya edisi  baru) dan hak ciptanya didaftarkan ulang, akan tertulis beberapa angka  tahun. Bentuk pesan lain diperbolehkan bagi jenis ciptaan tertentu.  Pemberitahuan hak cipta tersebut bertujuan untuk memberi tahu (calon)  pengguna ciptaan bahwa ciptaan tersebut berhak cipta.
Pada perkembangannya, persyaratan tersebut kini umumnya tidak  diwajibkan lagi, terutama bagi negara-negara anggota Konvensi Bern.  Dengan perkecualian pada sejumlah kecil negara tertentu, persyaratan  tersebut kini secara umum bersifat manasuka kecuali bagi ciptaan yang  diciptakan sebelum negara bersangkutan menjadi anggota Konvensi Bern.
Lambang © merupakan lambang 
Unicode 00A9 dalam 
heksadesimal, dan dapat diketikkan dalam (
X)
HTML sebagai 
©, 
©, atau 
©
[sunting] Jangka waktu perlindungan hak cipta
Hak cipta berlaku dalam jangka waktu berbeda-beda dalam 
yurisdiksi yang berbeda untuk jenis ciptaan yang berbeda. Masa berlaku tersebut juga dapat bergantung pada apakah ciptaan tersebut 
diterbitkan atau tidak diterbitkan. Di 
Amerika Serikat misalnya, masa berlaku hak cipta semua 
buku dan ciptaan lain yang diterbitkan sebelum tahun 
1923 telah kadaluwarsa. Di kebanyakan negara di dunia, jangka waktu berlakunya hak cipta biasanya 
sepanjang hidup penciptanya ditambah 50 tahun, atau 
sepanjang hidup penciptanya ditambah 70 tahun.  Secara umum, hak cipta tepat mulai habis masa berlakunya pada akhir  tahun bersangkutan, dan bukan pada tanggal meninggalnya pencipta.
Di Indonesia, jangka waktu perlindungan hak cipta secara umum adalah 
sepanjang hidup penciptanya ditambah 50 tahun atau 
50 tahun setelah pertama kali diumumkan atau dipublikasikan atau dibuat,  kecuali 20 tahun setelah pertama kali disiarkan untuk karya siaran,  atau tanpa batas waktu untuk hak moral pencantuman nama pencipta pada  ciptaan dan untuk hak cipta yang dipegang oleh Negara atas 
folklor dan hasil 
kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama (UU 19/2002 bab III dan pasal 50).
[sunting] Penegakan hukum atas hak cipta
Penegakan hukum atas hak cipta biasanya dilakukan oleh pemegang hak cipta dalam 
hukum perdata, namun ada pula sisi 
hukum pidana.  Sanksi pidana secara umum dikenakan kepada aktivitas pemalsuan yang  serius, namun kini semakin lazim pada perkara-perkara lain.
Sanksi pidana atas pelanggaran hak cipta di 
Indonesia secara umum diancam hukuman 
penjara paling singkat satu 
bulan dan paling lama tujuh 
tahun yang dapat disertai maupun tidak disertai denda sejumlah paling sedikit satu juta 
rupiah dan paling banyak lima 
miliar  rupiah, sementara ciptaan atau barang yang merupakan hasil tindak  pidana hak cipta serta alat-alat yang digunakan untuk melakukan tindak  pidana tersebut dirampas oleh Negara untuk dimusnahkan (UU 19/2002 bab  XIII).
[sunting] Perkecualian dan batasan hak cipta
Perkecualian hak cipta dalam hal ini berarti tidak berlakunya hak  eksklusif yang diatur dalam hukum tentang hak cipta. Contoh perkecualian  hak cipta adalah doktrin 
fair use atau 
fair dealing yang diterapkan pada beberapa negara yang memungkinkan perbanyakan ciptaan tanpa dianggap melanggar hak cipta.
Dalam Undang-undang Hak Cipta yang berlaku di 
Indonesia,  beberapa hal diatur sebagai dianggap tidak melanggar hak cipta (pasal  14–18). Pemakaian ciptaan tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta  apabila sumbernya disebut atau dicantumkan dengan jelas dan hal itu  dilakukan terbatas untuk kegiatan yang bersifat nonkomersial termasuk  untuk kegiatan 
sosial, misalnya, kegiatan dalam lingkup 
pendidikan dan 
ilmu pengetahuan, kegiatan 
penelitian  dan pengembangan, dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang  wajar dari penciptanya. Kepentingan yang wajar dalam hal ini adalah  "kepentingan yang didasarkan pada keseimbangan dalam menikmati manfaat 
ekonomi  atas suatu ciptaan". Termasuk dalam pengertian ini adalah pengambilan  ciptaan untuk pertunjukan atau pementasan yang tidak dikenakan bayaran.  Khusus untuk pengutipan karya tulis, penyebutan atau pencantuman sumber  ciptaan yang dikutip harus dilakukan secara lengkap. Artinya, dengan  mencantumkan sekurang-kurangnya nama pencipta, judul atau nama ciptaan,  dan nama penerbit jika ada. Selain itu, seorang pemilik (bukan pemegang  hak cipta) 
program komputer dibolehkan membuat salinan atas program komputer yang dimilikinya, untuk dijadikan cadangan semata-mata untuk digunakan sendiri
[2].
 
  Hak cipta 
foto umumnya dipegang 
fotografer, namun foto 
potret  seseorang (atau beberapa orang) dilarang disebarluaskan bila  bertentangan dengan kepentingan yang wajar dari orang yang dipotret. UU  Hak Cipta Indonesia secara khusus mengatur hak cipta atas potret dalam  pasal 19–23.
  Selain itu, Undang-undang Hak Cipta juga mengatur hak 
pemerintah Indonesia  untuk memanfaatkan atau mewajibkan pihak tertentu memperbanyak ciptaan  berhak cipta demi kepentingan umum atau kepentingan nasional (pasal 16  dan 18), ataupun melarang penyebaran ciptaan "yang apabila diumumkan  dapat merendahkan nilai-nilai 
keagamaan, ataupun menimbulkan masalah 
kesukuan atau 
ras, dapat menimbulkan gangguan atau bahaya terhadap 
pertahanan keamanan negara, bertentangan dengan 
norma kesusilaan umum yang berlaku dalam masyarakat, dan ketertiban umum" (pasal 17)
[2].  ketika orang mengambil hak cipta seseorang maka orang tersebut akan  mendapat hukuman yang sesuai pada kejahatan yang di lakukan
Menurut UU No.19 Tahun 2002 pasal 13, tidak ada hak cipta atas hasil rapat terbuka 
lembaga-lembaga Negara, 
peraturan perundang-undangan, pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah, 
putusan pengadilan atau penetapan 
hakim,  ataupun keputusan badan arbitrase atau keputusan badan-badan sejenis  lainnya (misalnya keputusan-keputusan yang memutuskan suatu sengketa).  Di 
Amerika Serikat, semua dokumen pemerintah, tidak peduli tanggalnya, berada dalam 
domain umum, yaitu tidak berhak cipta.
Pasal 14 Undang-undang Hak Cipta mengatur bahwa penggunaan atau perbanyakan lambang Negara dan 
lagu kebangsaan  menurut sifatnya yang asli tidaklah melanggar hak cipta. Demikian pula  halnya dengan pengambilan berita aktual baik seluruhnya maupun sebagian  dari 
kantor berita, lembaga penyiaran, dan 
surat kabar atau sumber sejenis lain, dengan ketentuan sumbernya harus disebutkan secara lengkap.
[sunting] Pendaftaran hak cipta di Indonesia
Di Indonesia, pendaftaran ciptaan bukan merupakan suatu keharusan  bagi pencipta atau pemegang hak cipta, dan timbulnya perlindungan suatu  ciptaan dimulai sejak ciptaan itu ada atau terwujud dan bukan karena  pendaftaran
[2]. Namun demikian, surat pendaftaran ciptaan dapat dijadikan sebagai alat bukti awal di 
pengadilan apabila timbul sengketa di kemudian hari terhadap ciptaan
[1].  Sesuai yang diatur pada bab IV Undang-undang Hak Cipta, pendaftaran hak  cipta diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual  (Ditjen HKI), yang kini berada di bawah [Kementerian Hukum dan Hak  Asasi Manusia]]. Pencipta atau pemilik hak cipta dapat mendaftarkan  langsung ciptaannya maupun melalui konsultan HKI. Permohonan pendaftaran  hak cipta dikenakan biaya (UU 19/2002 pasal 37 ayat 2). Penjelasan  prosedur dan formulir pendaftaran hak cipta dapat diperoleh di kantor  maupun 
situs web  Ditjen HKI. "Daftar Umum Ciptaan" yang mencatat ciptaan-ciptaan  terdaftar dikelola oleh Ditjen HKI dan dapat dilihat oleh setiap orang  tanpa dikenai biaya.
[sunting] Kritik atas konsep hak cipta
 
  Copyleft, lisensi untuk memastikan kebebasan ciptaan.
  Kritikan-kritikan terhadap hak cipta secara umum dapat dibedakan  menjadi dua sisi, yaitu sisi yang berpendapat bahwa konsep hak cipta  tidak pernah menguntungkan 
masyarakat serta selalu memperkaya beberapa pihak dengan mengorbankan 
kreativitas, dan sisi yang berpendapat bahwa konsep hak cipta sekarang harus diperbaiki agar sesuai dengan kondisi sekarang, yaitu adanya 
masyarakat informasi baru.
Keberhasilan proyek 
perangkat lunak bebas seperti 
Linux, 
Mozilla Firefox, dan 
Server HTTP Apache telah menunjukkan bahwa ciptaan bermutu dapat dibuat tanpa adanya sistem sewa bersifat monopoli berlandaskan hak cipta 
[3].  Produk-produk tersebut menggunakan hak cipta untuk memperkuat  persyaratan lisensinya, yang dirancang untuk memastikan kebebasan  ciptaan dan tidak menerapkan hak eksklusif yang bermotif uang; lisensi  semacam itu disebut 
copyleft atau 
lisensi perangkat lunak bebas.
- Undang-Undang Republik Indonesia nomor 19 tahun 2002, tentang HAK CIPTA
 
- ^Konsultasi seputar Hak Kekayaan Intelektual.
 
- Penjelasan atas Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002.