Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Hak cipta (lambang internasional:
©, Unicode: U+00A9) adalah hak eksklusif Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengatur penggunaan hasil penuangan gagasan atau informasi tertentu. Pada dasarnya, hak cipta merupakan "hak untuk menyalin suatu ciptaan". Hak cipta dapat juga memungkinkan pemegang hak tersebut untuk membatasi penggandaan tidak sah atas suatu ciptaan. Pada umumnya pula, hak cipta memiliki masa berlaku tertentu yang terbatas.
Hak cipta berlaku pada berbagai jenis karya seni atau karya cipta atau "ciptaan". Ciptaan tersebut dapat mencakup
puisi,
drama, serta
karya tulis lainnya,
film, karya-karya
koreografis (
tari,
balet, dan sebagainya),
komposisi musik,
rekaman suara,
lukisan,
gambar,
patung,
foto,
perangkat lunak komputer,
siaran radio dan
televisi, dan (dalam yurisdiksi tertentu)
desain industri.
Hak cipta merupakan salah satu jenis
hak kekayaan intelektual, namun hak cipta berbeda secara mencolok dari
hak kekayaan intelektual lainnya (seperti
paten, yang memberikan hak
monopoli atas penggunaan
invensi), karena hak cipta bukan merupakan hak monopoli untuk melakukan sesuatu, melainkan hak untuk mencegah orang lain yang melakukannya.
Hukum yang mengatur hak cipta biasanya hanya mencakup ciptaan yang berupa perwujudan suatu gagasan tertentu dan tidak mencakup gagasan umum, konsep, fakta, gaya, atau teknik yang mungkin terwujud atau terwakili di dalam ciptaan tersebut. Sebagai contoh, hak cipta yang berkaitan dengan tokoh
kartun Miki Tikus melarang pihak yang tidak berhak menyebarkan salinan kartun tersebut atau menciptakan karya yang meniru tokoh tikus tertentu ciptaan
Walt Disney tersebut, namun tidak melarang penciptaan atau karya seni lain mengenai tokoh tikus secara umum.
Di
Indonesia, masalah hak cipta diatur dalam
Undang-undang Hak Cipta, yaitu, yang berlaku saat ini, Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002. Dalam
undang-undang tersebut, pengertian
hak cipta adalah "hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku" (pasal 1 butir 1).
[sunting] Sejarah hak cipta
Konsep hak cipta di
Indonesia merupakan terjemahan dari konsep
copyright dalam
bahasa Inggris (secara harafiah artinya "hak salin").
Copyright ini diciptakan sejalan dengan penemuan mesin
cetak. Sebelum penemuan mesin ini oleh
Gutenberg, proses untuk membuat salinan dari sebuah karya tulisan memerlukan tenaga dan biaya yang hampir sama dengan proses pembuatan karya aslinya. Sehingga, kemungkinan besar para penerbitlah, bukan para pengarang, yang pertama kali meminta perlindungan
hukum terhadap karya cetak yang dapat disalin.
Awalnya, hak monopoli tersebut diberikan langsung kepada penerbit untuk menjual karya cetak. Baru ketika peraturan hukum tentang
copyright mulai diundangkan pada tahun
1710 dengan
Statute of Anne di Inggris, hak tersebut diberikan ke pengarang, bukan penerbit. Peraturan tersebut juga mencakup perlindungan kepada konsumen yang menjamin bahwa penerbit tidak dapat mengatur penggunaan karya cetak tersebut setelah transaksi jual beli berlangsung. Selain itu, peraturan tersebut juga mengatur masa berlaku hak eksklusif bagi pemegang
copyright, yaitu selama 28 tahun, yang kemudian setelah itu karya tersebut menjadi
milik umum.
Berne Convention for the Protection of Artistic and Literary Works ("Konvensi Bern tentang Perlindungan Karya
Seni dan
Sastra" atau "
Konvensi Bern") pada tahun
1886 adalah yang pertama kali mengatur masalah
copyright antara negara-negara berdaulat. Dalam konvensi ini,
copyright diberikan secara otomatis kepada karya cipta, dan pengarang tidak harus mendaftarkan karyanya untuk mendapatkan
copyright. Segera setelah sebuah karya dicetak atau disimpan dalam satu media, si pengarang otomatis mendapatkan hak eksklusif
copyright terhadap karya tersebut dan juga terhadap karya derivatifnya, hingga si pengarang secara eksplisit menyatakan sebaliknya atau hingga masa berlaku
copyright tersebut selesai.
[sunting] Sejarah hak cipta di Indonesia
Pada tahun
1958,
Perdana Menteri Djuanda menyatakan Indonesia keluar dari
Konvensi Bern agar para intelektual Indonesia bisa memanfaatkan hasil karya, cipta, dan karsa bangsa asing tanpa harus membayar royalti.
Pada tahun
1982,
Pemerintah Indonesia mencabut pengaturan tentang hak cipta berdasarkan
Auteurswet 1912 Staatsblad Nomor 600 tahun
1912 dan menetapkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, yang merupakan undang-undang hak cipta yang pertama di Indonesia
[1]. Undang-undang tersebut kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun
1987, Undang-undang Nomor 12 Tahun
1997, dan pada akhirnya dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 yang kini berlaku.
Perubahan undang-undang tersebut juga tak lepas dari peran
Indonesia dalam pergaulan antarnegara. Pada tahun
1994, pemerintah meratifikasi pembentukan
Organisasi Perdagangan Dunia (
World Trade Organization – WTO), yang mencakup pula
Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Propertyrights -
TRIPs ("Persetujuan tentang Aspek-aspek Dagang Hak Kekayaan Intelektual"). Ratifikasi tersebut diwujudkan dalam bentuk Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994. Pada tahun
1997,
pemerintah meratifikasi kembali
Konvensi Bern melalui Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1997 dan juga meratifikasi
World Intellectual Property Organization Copyrights Treaty ("Perjanjian Hak Cipta WIPO") melalui Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1997
[2].
[sunting] Hak-hak yang tercakup dalam hak cipta
[sunting] Hak eksklusif
Beberapa hak eksklusif yang umumnya diberikan kepada pemegang hak cipta adalah hak untuk:
- membuat salinan atau reproduksi ciptaan dan menjual hasil salinan tersebut (termasuk, pada umumnya, salinan elektronik),
- mengimpor dan mengekspor ciptaan,
- menciptakan karya turunan atau derivatif atas ciptaan (mengadaptasi ciptaan),
- menampilkan atau memamerkan ciptaan di depan umum,
- menjual atau mengalihkan hak eksklusif tersebut kepada orang atau pihak lain.
Yang dimaksud dengan "hak eksklusif" dalam hal ini adalah bahwa hanya pemegang hak ciptalah yang bebas melaksanakan hak cipta tersebut, sementara orang atau pihak lain dilarang melaksanakan hak cipta tersebut tanpa persetujuan pemegang hak cipta.
Konsep tersebut juga berlaku di
Indonesia. Di Indonesia, hak eksklusif pemegang hak cipta termasuk "kegiatan menerjemahkan, mengadaptasi,
mengaransemen, mengalihwujudkan, menjual, menyewakan, meminjamkan, mengimpor, memamerkan, mempertunjukkan kepada publik,
menyiarkan, merekam, dan mengkomunikasikan ciptaan kepada publik melalui sarana apapun"
[2].
Selain itu, dalam
hukum yang berlaku di Indonesia diatur pula "hak terkait", yang berkaitan dengan hak cipta dan juga merupakan hak eksklusif, yang dimiliki oleh pelaku karya
seni (yaitu
pemusik,
aktor,
penari, dan sebagainya), produser rekaman suara, dan lembaga penyiaran untuk mengatur pemanfaatan hasil dokumentasi kegiatan seni yang dilakukan, direkam, atau disiarkan oleh mereka masing-masing (UU 19/2002 pasal 1 butir 9–12 dan bab VII). Sebagai contoh, seorang
penyanyi berhak melarang pihak lain memperbanyak rekaman suara nyanyiannya.
Hak-hak eksklusif yang tercakup dalam hak cipta tersebut dapat dialihkan, misalnya dengan
pewarisan atau perjanjian tertulis (UU 19/2002 pasal 3 dan 4). Pemilik hak cipta dapat pula mengizinkan pihak lain melakukan hak eksklusifnya tersebut dengan
lisensi, dengan persyaratan tertentu (UU 19/2002 bab V).
[sunting] Hak ekonomi dan hak moral
Banyak negara mengakui adanya hak moral yang dimiliki pencipta suatu ciptaan, sesuai penggunaan Persetujuan
TRIPs WTO (yang secara
inter alia juga mensyaratkan penerapan bagian-bagian relevan
Konvensi Bern). Secara umum, hak moral mencakup hak agar ciptaan tidak diubah atau dirusak tanpa persetujuan, dan hak untuk diakui sebagai pencipta ciptaan tersebut.
Hak cipta di Indonesia juga mengenal konsep "hak ekonomi" dan "hak moral". Hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan, sedangkan hak moral adalah hak yang melekat pada diri pencipta atau pelaku (seni, rekaman, siaran) yang tidak dapat dihilangkan dengan alasan apa pun, walaupun hak cipta atau hak terkait telah dialihkan
[2]. Contoh pelaksanaan hak moral adalah pencantuman nama pencipta pada ciptaan, walaupun misalnya hak cipta atas ciptaan tersebut sudah dijual untuk dimanfaatkan pihak lain. Hak moral diatur dalam pasal 24–26 Undang-undang Hak Cipta.
[sunting] Perolehan dan pelaksanaan hak cipta
Hak cipta gambar potret "penduduk asli
Bengkulu" yang diterbitkan pada tahun
1810 ini sudah habis masa berlakunya.
Pada umumnya, suatu ciptaan haruslah memenuhi standar minimum agar berhak mendapatkan hak cipta, dan hak cipta biasanya tidak berlaku lagi setelah periode waktu tertentu (masa berlaku ini dimungkinkan untuk diperpanjang pada yurisdiksi tertentu).
[sunting] Perolehan hak cipta
Setiap negara menerapkan persyaratan yang berbeda untuk menentukan bagaimana dan bilamana suatu karya berhak mendapatkan hak cipta; di
Inggris misalnya, suatu ciptaan harus mengandung faktor "keahlian, keaslian, dan usaha". Pada sistem yang juga berlaku berdasarkan
Konvensi Bern, suatu hak cipta atas suatu ciptaan diperoleh tanpa perlu melalui pendaftaran resmi terlebih dahulu; bila gagasan ciptaan sudah terwujud dalam bentuk tertentu, misalnya pada medium tertentu (seperti
lukisan,
partitur lagu,
foto,
pita video, atau
surat), pemegang hak cipta sudah berhak atas hak cipta tersebut. Namun demikian, walaupun suatu ciptaan tidak perlu didaftarkan dulu untuk melaksanakan hak cipta, pendaftaran ciptaan (sesuai dengan yang dimungkinkan oleh hukum yang berlaku pada yurisdiksi bersangkutan) memiliki keuntungan, yaitu sebagai bukti hak cipta yang sah.
Pemegang hak cipta bisa jadi adalah orang yang memperkerjakan pencipta dan bukan pencipta itu sendiri bila ciptaan tersebut dibuat dalam kaitannya dengan hubungan dinas. Prinsip ini umum berlaku; misalnya dalam hukum Inggris (
Copyright Designs and Patents Act 1988) dan Indonesia (UU 19/2002 pasal 8). Dalam undang-undang yang berlaku di Indonesia, terdapat perbedaan penerapan prinsip tersebut antara lembaga pemerintah dan lembaga swasta.
[sunting] Ciptaan yang dapat dilindungi
Ciptaan yang dilindungi hak cipta di Indonesia dapat mencakup misalnya
buku,
program komputer,
pamflet, perwajahan (
lay out) karya tulis yang diterbitkan,
ceramah,
kuliah,
pidato, alat peraga yang dibuat untuk kepentingan
pendidikan dan
ilmu pengetahuan,
lagu atau
musik dengan atau tanpa teks,
drama,
drama musikal,
tari,
koreografi,
pewayangan,
pantomim,
seni rupa dalam segala bentuk (seperti
seni lukis,
gambar,
seni ukir, seni
kaligrafi,
seni pahat,
seni patung,
kolase, dan seni terapan),
arsitektur,
peta, seni
batik (dan karya tradisional lainnya seperti seni
songket dan seni
ikat),
fotografi,
sinematografi, dan tidak termasuk
desain industri (yang dilindungi sebagai
kekayaan intelektual tersendiri). Ciptaan hasil pengalihwujudan seperti terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai (misalnya buku yang berisi kumpulan karya tulis, himpunan lagu yang direkam dalam satu media, serta komposisi berbagai karya tari pilihan), dan
database dilindungi sebagai ciptaan tersendiri tanpa mengurangi hak cipta atas ciptaan asli (UU 19/2002 pasal 12).
[sunting] Penanda hak cipta
Dalam yurisdiksi tertentu, agar suatu ciptaan seperti
buku atau
film mendapatkan hak cipta pada saat diciptakan, ciptaan tersebut harus memuat suatu "pemberitahuan hak cipta" (
copyright notice). Pemberitahuan atau pesan tersebut terdiri atas sebuah huruf c di dalam lingkaran (yaitu lambang hak cipta, ©), atau kata "
copyright", yang diikuti dengan tahun hak cipta dan nama pemegang hak cipta. Jika ciptaan tersebut telah dimodifikasi (misalnya dengan terbitnya edisi baru) dan hak ciptanya didaftarkan ulang, akan tertulis beberapa angka tahun. Bentuk pesan lain diperbolehkan bagi jenis ciptaan tertentu. Pemberitahuan hak cipta tersebut bertujuan untuk memberi tahu (calon) pengguna ciptaan bahwa ciptaan tersebut berhak cipta.
Pada perkembangannya, persyaratan tersebut kini umumnya tidak diwajibkan lagi, terutama bagi negara-negara anggota Konvensi Bern. Dengan perkecualian pada sejumlah kecil negara tertentu, persyaratan tersebut kini secara umum bersifat manasuka kecuali bagi ciptaan yang diciptakan sebelum negara bersangkutan menjadi anggota Konvensi Bern.
Lambang © merupakan lambang
Unicode 00A9
dalam
heksadesimal, dan dapat diketikkan dalam (
X)
HTML sebagai
©
,
©
, atau
©
[sunting] Jangka waktu perlindungan hak cipta
Hak cipta berlaku dalam jangka waktu berbeda-beda dalam
yurisdiksi yang berbeda untuk jenis ciptaan yang berbeda. Masa berlaku tersebut juga dapat bergantung pada apakah ciptaan tersebut
diterbitkan atau tidak diterbitkan. Di
Amerika Serikat misalnya, masa berlaku hak cipta semua
buku dan ciptaan lain yang diterbitkan sebelum tahun
1923 telah kadaluwarsa. Di kebanyakan negara di dunia, jangka waktu berlakunya hak cipta biasanya
sepanjang hidup penciptanya ditambah 50 tahun, atau
sepanjang hidup penciptanya ditambah 70 tahun. Secara umum, hak cipta tepat mulai habis masa berlakunya pada akhir tahun bersangkutan, dan bukan pada tanggal meninggalnya pencipta.
Di Indonesia, jangka waktu perlindungan hak cipta secara umum adalah
sepanjang hidup penciptanya ditambah 50 tahun atau
50 tahun setelah pertama kali diumumkan atau dipublikasikan atau dibuat, kecuali 20 tahun setelah pertama kali disiarkan untuk karya siaran, atau tanpa batas waktu untuk hak moral pencantuman nama pencipta pada ciptaan dan untuk hak cipta yang dipegang oleh Negara atas
folklor dan hasil
kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama (UU 19/2002 bab III dan pasal 50).
[sunting] Penegakan hukum atas hak cipta
Penegakan hukum atas hak cipta biasanya dilakukan oleh pemegang hak cipta dalam
hukum perdata, namun ada pula sisi
hukum pidana. Sanksi pidana secara umum dikenakan kepada aktivitas pemalsuan yang serius, namun kini semakin lazim pada perkara-perkara lain.
Sanksi pidana atas pelanggaran hak cipta di
Indonesia secara umum diancam hukuman
penjara paling singkat satu
bulan dan paling lama tujuh
tahun yang dapat disertai maupun tidak disertai denda sejumlah paling sedikit satu juta
rupiah dan paling banyak lima
miliar rupiah, sementara ciptaan atau barang yang merupakan hasil tindak pidana hak cipta serta alat-alat yang digunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut dirampas oleh Negara untuk dimusnahkan (UU 19/2002 bab XIII).
[sunting] Perkecualian dan batasan hak cipta
Perkecualian hak cipta dalam hal ini berarti tidak berlakunya hak eksklusif yang diatur dalam hukum tentang hak cipta. Contoh perkecualian hak cipta adalah doktrin
fair use atau
fair dealing yang diterapkan pada beberapa negara yang memungkinkan perbanyakan ciptaan tanpa dianggap melanggar hak cipta.
Dalam Undang-undang Hak Cipta yang berlaku di
Indonesia, beberapa hal diatur sebagai dianggap tidak melanggar hak cipta (pasal 14–18). Pemakaian ciptaan tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta apabila sumbernya disebut atau dicantumkan dengan jelas dan hal itu dilakukan terbatas untuk kegiatan yang bersifat nonkomersial termasuk untuk kegiatan
sosial, misalnya, kegiatan dalam lingkup
pendidikan dan
ilmu pengetahuan, kegiatan
penelitian dan pengembangan, dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari penciptanya. Kepentingan yang wajar dalam hal ini adalah "kepentingan yang didasarkan pada keseimbangan dalam menikmati manfaat
ekonomi atas suatu ciptaan". Termasuk dalam pengertian ini adalah pengambilan ciptaan untuk pertunjukan atau pementasan yang tidak dikenakan bayaran. Khusus untuk pengutipan karya tulis, penyebutan atau pencantuman sumber ciptaan yang dikutip harus dilakukan secara lengkap. Artinya, dengan mencantumkan sekurang-kurangnya nama pencipta, judul atau nama ciptaan, dan nama penerbit jika ada. Selain itu, seorang pemilik (bukan pemegang hak cipta)
program komputer dibolehkan membuat salinan atas program komputer yang dimilikinya, untuk dijadikan cadangan semata-mata untuk digunakan sendiri
[2].
Hak cipta
foto umumnya dipegang
fotografer, namun foto
potret seseorang (atau beberapa orang) dilarang disebarluaskan bila bertentangan dengan kepentingan yang wajar dari orang yang dipotret. UU Hak Cipta Indonesia secara khusus mengatur hak cipta atas potret dalam pasal 19–23.
Selain itu, Undang-undang Hak Cipta juga mengatur hak
pemerintah Indonesia untuk memanfaatkan atau mewajibkan pihak tertentu memperbanyak ciptaan berhak cipta demi kepentingan umum atau kepentingan nasional (pasal 16 dan 18), ataupun melarang penyebaran ciptaan "yang apabila diumumkan dapat merendahkan nilai-nilai
keagamaan, ataupun menimbulkan masalah
kesukuan atau
ras, dapat menimbulkan gangguan atau bahaya terhadap
pertahanan keamanan negara, bertentangan dengan
norma kesusilaan umum yang berlaku dalam masyarakat, dan ketertiban umum" (pasal 17)
[2]. ketika orang mengambil hak cipta seseorang maka orang tersebut akan mendapat hukuman yang sesuai pada kejahatan yang di lakukan
Menurut UU No.19 Tahun 2002 pasal 13, tidak ada hak cipta atas hasil rapat terbuka
lembaga-lembaga Negara,
peraturan perundang-undangan, pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah,
putusan pengadilan atau penetapan
hakim, ataupun keputusan badan arbitrase atau keputusan badan-badan sejenis lainnya (misalnya keputusan-keputusan yang memutuskan suatu sengketa). Di
Amerika Serikat, semua dokumen pemerintah, tidak peduli tanggalnya, berada dalam
domain umum, yaitu tidak berhak cipta.
Pasal 14 Undang-undang Hak Cipta mengatur bahwa penggunaan atau perbanyakan lambang Negara dan
lagu kebangsaan menurut sifatnya yang asli tidaklah melanggar hak cipta. Demikian pula halnya dengan pengambilan berita aktual baik seluruhnya maupun sebagian dari
kantor berita, lembaga penyiaran, dan
surat kabar atau sumber sejenis lain, dengan ketentuan sumbernya harus disebutkan secara lengkap.
[sunting] Pendaftaran hak cipta di Indonesia
Di Indonesia, pendaftaran ciptaan bukan merupakan suatu keharusan bagi pencipta atau pemegang hak cipta, dan timbulnya perlindungan suatu ciptaan dimulai sejak ciptaan itu ada atau terwujud dan bukan karena pendaftaran
[2]. Namun demikian, surat pendaftaran ciptaan dapat dijadikan sebagai alat bukti awal di
pengadilan apabila timbul sengketa di kemudian hari terhadap ciptaan
[1]. Sesuai yang diatur pada bab IV Undang-undang Hak Cipta, pendaftaran hak cipta diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HKI), yang kini berada di bawah [Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia]]. Pencipta atau pemilik hak cipta dapat mendaftarkan langsung ciptaannya maupun melalui konsultan HKI. Permohonan pendaftaran hak cipta dikenakan biaya (UU 19/2002 pasal 37 ayat 2). Penjelasan prosedur dan formulir pendaftaran hak cipta dapat diperoleh di kantor maupun
situs web Ditjen HKI. "Daftar Umum Ciptaan" yang mencatat ciptaan-ciptaan terdaftar dikelola oleh Ditjen HKI dan dapat dilihat oleh setiap orang tanpa dikenai biaya.
[sunting] Kritik atas konsep hak cipta
Copyleft, lisensi untuk memastikan kebebasan ciptaan.
Kritikan-kritikan terhadap hak cipta secara umum dapat dibedakan menjadi dua sisi, yaitu sisi yang berpendapat bahwa konsep hak cipta tidak pernah menguntungkan
masyarakat serta selalu memperkaya beberapa pihak dengan mengorbankan
kreativitas, dan sisi yang berpendapat bahwa konsep hak cipta sekarang harus diperbaiki agar sesuai dengan kondisi sekarang, yaitu adanya
masyarakat informasi baru.
Keberhasilan proyek
perangkat lunak bebas seperti
Linux,
Mozilla Firefox, dan
Server HTTP Apache telah menunjukkan bahwa ciptaan bermutu dapat dibuat tanpa adanya sistem sewa bersifat monopoli berlandaskan hak cipta
[3]. Produk-produk tersebut menggunakan hak cipta untuk memperkuat persyaratan lisensinya, yang dirancang untuk memastikan kebebasan ciptaan dan tidak menerapkan hak eksklusif yang bermotif uang; lisensi semacam itu disebut
copyleft atau
lisensi perangkat lunak bebas.
- Undang-Undang Republik Indonesia nomor 19 tahun 2002, tentang HAK CIPTA
- ^Konsultasi seputar Hak Kekayaan Intelektual.
- Penjelasan atas Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002.