Kamis, 23 Desember 2010

Pemain Timnas Garuda Menuju Malaysia



Timnas Indonesia2010
VIVAnews - Skuad tim nasional (Timnas) Indonesia sudah meninggalkan Hotel Sultan, Jakarta, Jumat 24 Desember 2010 untuk menuju Bandara Halim Perdana Kusuma dan bertolak ke Malaysia jelang final pertama Piala AFF 2010.

Gelandang Tony Sucipto menjadi pemain pertama yang turun dari kamar hotel dan menuju ke bus Timnas Indonesia yang terparkir di lobi Hotel Sultan.

Selang 10 menit kemudian, secara berurut keluar dua asisten pelatih, Wolfgang Pikal dan Widodo C Putro, dan pemain seperti Oktovianus Maniani, Hamka Hamzah, Markus Haris, Bambang Pamungkas, Firman Utina, serta Cristian Gonzales. Striker Irfan Bachdim menjadi pemain terakhir yang menuju bus.

Tidak ada satu pun pemain yang meladeni pertanyaan wartawan. Hal ini sesuai perintah pelatih Alfred Riedl yang melarang pemainnya memberikan pernyataan di hotel. Para pemain hanya meladeni permintaan foto dan tanda tangan fans yang sudah menunggu di hotel sejak pagi.

Bus yang mengangkut skuad timnas Indonesia pun akhirnya meninggalkan Hotel Sultan pukul 08.02 WIB dan menuju bandara Halim Perdana Kusuma. Timnas Indonesia rencananya akan terbang ke Malaysia tepat pukul 10.00 WIB menggunakan pesawat carteran

TIMNAS INDONESIA

Garuda Tambah Lagi Pesawat Suporter Timnas
"Kami tambah satu pesawat lagi, yakni Boeing B747-400 untuk membawa suporter Garuda."
Kamis, 23 Desember 2010, 10:17 WIB
Antique
VIVAnews - PT Garuda Indonesia terus menunjukkan dukungannya kepada Tim Nasional (Timnas) Indonesia yang akan berlaga dalam leg pertama dalam partai final Piala AFF 2010 melawan Malaysia pada 26 Desember 2010.
Meski telah menyediakan 1.000 kursi khusus bagi suporter yang ingin mendukung Timnas Merah Putih bertanding di Malaysia, maskapai pelat merah tersebut menambah lagi sekitar 400 kursi.

"Jadi, kami tambah satu pesawat lagi yakni Boeing B747-400 untuk membawa suporter Garuda ke Kuala Lumpur," kata Humas Garuda Indonesia, Ikhsan Rosan saat dihubungi VIVAnews.com di Jakarta, Kamis 23 Desember 2010.
Dia menuturkan, satu pesawat Garuda tersebut direncanakan berangkat dari Jakarta pukul 12.35 WIB dan tiba di Kuala Lumpur pukul 15.35 waktu setempat. Sedangkan untuk kepulangannya setelah pertandingan, diterbangkan pukul 01.00 dini hari waktu setempat dan sampai kembali ke Jakarta pukul 03.00 dini hari WIB. "Jadi, pesawat menunggu di bandara," tuturnya.

Meski Garuda menambah pesawat, menurut Ikhsan, harga tiket Jakarta-Kuala Lumpur pulang pergi itu tidak mengalami perubahan, yaitu masih dibanderol US$156 atau Rp1,4 juta (nett).

Dia menjelaskan, dengan adanya penambahan satu pesawat lagi, jumlah pesawat yang akan membawa suporter Timnas Indonesia ke Stadion Bukit Jalil, Malaysia keseluruhan sebanyak lima pesawat, dengan rincian dua pesawat B747-400 dan tiga pesawat 737-400 yang dipenuhi maskapai Citilink, anak usaha Garuda.

Sebelumnya, Pelaksana Harian Vice President Corporate Communications Garuda Indonesia, Tri Poetra I Sakti menuturkan, untuk kemudahan para suporter, selain tiket pesawat, Garuda juga menyiapkan transportasi bus dari airport ke stadion Bukit Jalil pulang pergi.

Garuda juga berkoordinasi dengan pihak Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Kuala Lumpur untuk kemudahan pembelian tiket masuk pertandingan sepak bola bagi para penumpang. (art)

Hak Cipta


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Lambang hak cipta.
Hak cipta (lambang internasional: ©, Unicode: U+00A9) adalah hak eksklusif Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengatur penggunaan hasil penuangan gagasan atau informasi tertentu. Pada dasarnya, hak cipta merupakan "hak untuk menyalin suatu ciptaan". Hak cipta dapat juga memungkinkan pemegang hak tersebut untuk membatasi penggandaan tidak sah atas suatu ciptaan. Pada umumnya pula, hak cipta memiliki masa berlaku tertentu yang terbatas.
Hak cipta berlaku pada berbagai jenis karya seni atau karya cipta atau "ciptaan". Ciptaan tersebut dapat mencakup puisi, drama, serta karya tulis lainnya, film, karya-karya koreografis (tari, balet, dan sebagainya), komposisi musik, rekaman suara, lukisan, gambar, patung, foto, perangkat lunak komputer, siaran radio dan televisi, dan (dalam yurisdiksi tertentu) desain industri.
Hak cipta merupakan salah satu jenis hak kekayaan intelektual, namun hak cipta berbeda secara mencolok dari hak kekayaan intelektual lainnya (seperti paten, yang memberikan hak monopoli atas penggunaan invensi), karena hak cipta bukan merupakan hak monopoli untuk melakukan sesuatu, melainkan hak untuk mencegah orang lain yang melakukannya.
Hukum yang mengatur hak cipta biasanya hanya mencakup ciptaan yang berupa perwujudan suatu gagasan tertentu dan tidak mencakup gagasan umum, konsep, fakta, gaya, atau teknik yang mungkin terwujud atau terwakili di dalam ciptaan tersebut. Sebagai contoh, hak cipta yang berkaitan dengan tokoh kartun Miki Tikus melarang pihak yang tidak berhak menyebarkan salinan kartun tersebut atau menciptakan karya yang meniru tokoh tikus tertentu ciptaan Walt Disney tersebut, namun tidak melarang penciptaan atau karya seni lain mengenai tokoh tikus secara umum.
Di Indonesia, masalah hak cipta diatur dalam Undang-undang Hak Cipta, yaitu, yang berlaku saat ini, Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002. Dalam undang-undang tersebut, pengertian hak cipta adalah "hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku" (pasal 1 butir 1).

Daftar isi

[sembunyikan]

[sunting] Sejarah hak cipta

Halaman buku dari era pra-Gutenberg, sekitar tahun 1310
Konsep hak cipta di Indonesia merupakan terjemahan dari konsep copyright dalam bahasa Inggris (secara harafiah artinya "hak salin"). Copyright ini diciptakan sejalan dengan penemuan mesin cetak. Sebelum penemuan mesin ini oleh Gutenberg, proses untuk membuat salinan dari sebuah karya tulisan memerlukan tenaga dan biaya yang hampir sama dengan proses pembuatan karya aslinya. Sehingga, kemungkinan besar para penerbitlah, bukan para pengarang, yang pertama kali meminta perlindungan hukum terhadap karya cetak yang dapat disalin.
Awalnya, hak monopoli tersebut diberikan langsung kepada penerbit untuk menjual karya cetak. Baru ketika peraturan hukum tentang copyright mulai diundangkan pada tahun 1710 dengan Statute of Anne di Inggris, hak tersebut diberikan ke pengarang, bukan penerbit. Peraturan tersebut juga mencakup perlindungan kepada konsumen yang menjamin bahwa penerbit tidak dapat mengatur penggunaan karya cetak tersebut setelah transaksi jual beli berlangsung. Selain itu, peraturan tersebut juga mengatur masa berlaku hak eksklusif bagi pemegang copyright, yaitu selama 28 tahun, yang kemudian setelah itu karya tersebut menjadi milik umum.
Berne Convention for the Protection of Artistic and Literary Works ("Konvensi Bern tentang Perlindungan Karya Seni dan Sastra" atau "Konvensi Bern") pada tahun 1886 adalah yang pertama kali mengatur masalah copyright antara negara-negara berdaulat. Dalam konvensi ini, copyright diberikan secara otomatis kepada karya cipta, dan pengarang tidak harus mendaftarkan karyanya untuk mendapatkan copyright. Segera setelah sebuah karya dicetak atau disimpan dalam satu media, si pengarang otomatis mendapatkan hak eksklusif copyright terhadap karya tersebut dan juga terhadap karya derivatifnya, hingga si pengarang secara eksplisit menyatakan sebaliknya atau hingga masa berlaku copyright tersebut selesai.

[sunting] Sejarah hak cipta di Indonesia

Pada tahun 1958, Perdana Menteri Djuanda menyatakan Indonesia keluar dari Konvensi Bern agar para intelektual Indonesia bisa memanfaatkan hasil karya, cipta, dan karsa bangsa asing tanpa harus membayar royalti.
Pada tahun 1982, Pemerintah Indonesia mencabut pengaturan tentang hak cipta berdasarkan Auteurswet 1912 Staatsblad Nomor 600 tahun 1912 dan menetapkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, yang merupakan undang-undang hak cipta yang pertama di Indonesia[1]. Undang-undang tersebut kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987, Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997, dan pada akhirnya dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 yang kini berlaku.
Perubahan undang-undang tersebut juga tak lepas dari peran Indonesia dalam pergaulan antarnegara. Pada tahun 1994, pemerintah meratifikasi pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization – WTO), yang mencakup pula Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Propertyrights - TRIPs ("Persetujuan tentang Aspek-aspek Dagang Hak Kekayaan Intelektual"). Ratifikasi tersebut diwujudkan dalam bentuk Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994. Pada tahun 1997, pemerintah meratifikasi kembali Konvensi Bern melalui Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1997 dan juga meratifikasi World Intellectual Property Organization Copyrights Treaty ("Perjanjian Hak Cipta WIPO") melalui Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1997[2].

[sunting] Hak-hak yang tercakup dalam hak cipta

[sunting] Hak eksklusif

Beberapa hak eksklusif yang umumnya diberikan kepada pemegang hak cipta adalah hak untuk:
  • membuat salinan atau reproduksi ciptaan dan menjual hasil salinan tersebut (termasuk, pada umumnya, salinan elektronik),
  • mengimpor dan mengekspor ciptaan,
  • menciptakan karya turunan atau derivatif atas ciptaan (mengadaptasi ciptaan),
  • menampilkan atau memamerkan ciptaan di depan umum,
  • menjual atau mengalihkan hak eksklusif tersebut kepada orang atau pihak lain.
Yang dimaksud dengan "hak eksklusif" dalam hal ini adalah bahwa hanya pemegang hak ciptalah yang bebas melaksanakan hak cipta tersebut, sementara orang atau pihak lain dilarang melaksanakan hak cipta tersebut tanpa persetujuan pemegang hak cipta.
Konsep tersebut juga berlaku di Indonesia. Di Indonesia, hak eksklusif pemegang hak cipta termasuk "kegiatan menerjemahkan, mengadaptasi, mengaransemen, mengalihwujudkan, menjual, menyewakan, meminjamkan, mengimpor, memamerkan, mempertunjukkan kepada publik, menyiarkan, merekam, dan mengkomunikasikan ciptaan kepada publik melalui sarana apapun"[2].
Selain itu, dalam hukum yang berlaku di Indonesia diatur pula "hak terkait", yang berkaitan dengan hak cipta dan juga merupakan hak eksklusif, yang dimiliki oleh pelaku karya seni (yaitu pemusik, aktor, penari, dan sebagainya), produser rekaman suara, dan lembaga penyiaran untuk mengatur pemanfaatan hasil dokumentasi kegiatan seni yang dilakukan, direkam, atau disiarkan oleh mereka masing-masing (UU 19/2002 pasal 1 butir 9–12 dan bab VII). Sebagai contoh, seorang penyanyi berhak melarang pihak lain memperbanyak rekaman suara nyanyiannya.
Hak-hak eksklusif yang tercakup dalam hak cipta tersebut dapat dialihkan, misalnya dengan pewarisan atau perjanjian tertulis (UU 19/2002 pasal 3 dan 4). Pemilik hak cipta dapat pula mengizinkan pihak lain melakukan hak eksklusifnya tersebut dengan lisensi, dengan persyaratan tertentu (UU 19/2002 bab V).

[sunting] Hak ekonomi dan hak moral

Banyak negara mengakui adanya hak moral yang dimiliki pencipta suatu ciptaan, sesuai penggunaan Persetujuan TRIPs WTO (yang secara inter alia juga mensyaratkan penerapan bagian-bagian relevan Konvensi Bern). Secara umum, hak moral mencakup hak agar ciptaan tidak diubah atau dirusak tanpa persetujuan, dan hak untuk diakui sebagai pencipta ciptaan tersebut.
Hak cipta di Indonesia juga mengenal konsep "hak ekonomi" dan "hak moral". Hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan, sedangkan hak moral adalah hak yang melekat pada diri pencipta atau pelaku (seni, rekaman, siaran) yang tidak dapat dihilangkan dengan alasan apa pun, walaupun hak cipta atau hak terkait telah dialihkan[2]. Contoh pelaksanaan hak moral adalah pencantuman nama pencipta pada ciptaan, walaupun misalnya hak cipta atas ciptaan tersebut sudah dijual untuk dimanfaatkan pihak lain. Hak moral diatur dalam pasal 24–26 Undang-undang Hak Cipta.

[sunting] Perolehan dan pelaksanaan hak cipta

Hak cipta gambar potret "penduduk asli Bengkulu" yang diterbitkan pada tahun 1810 ini sudah habis masa berlakunya.
Pada umumnya, suatu ciptaan haruslah memenuhi standar minimum agar berhak mendapatkan hak cipta, dan hak cipta biasanya tidak berlaku lagi setelah periode waktu tertentu (masa berlaku ini dimungkinkan untuk diperpanjang pada yurisdiksi tertentu).

[sunting] Perolehan hak cipta

Setiap negara menerapkan persyaratan yang berbeda untuk menentukan bagaimana dan bilamana suatu karya berhak mendapatkan hak cipta; di Inggris misalnya, suatu ciptaan harus mengandung faktor "keahlian, keaslian, dan usaha". Pada sistem yang juga berlaku berdasarkan Konvensi Bern, suatu hak cipta atas suatu ciptaan diperoleh tanpa perlu melalui pendaftaran resmi terlebih dahulu; bila gagasan ciptaan sudah terwujud dalam bentuk tertentu, misalnya pada medium tertentu (seperti lukisan, partitur lagu, foto, pita video, atau surat), pemegang hak cipta sudah berhak atas hak cipta tersebut. Namun demikian, walaupun suatu ciptaan tidak perlu didaftarkan dulu untuk melaksanakan hak cipta, pendaftaran ciptaan (sesuai dengan yang dimungkinkan oleh hukum yang berlaku pada yurisdiksi bersangkutan) memiliki keuntungan, yaitu sebagai bukti hak cipta yang sah.
Pemegang hak cipta bisa jadi adalah orang yang memperkerjakan pencipta dan bukan pencipta itu sendiri bila ciptaan tersebut dibuat dalam kaitannya dengan hubungan dinas. Prinsip ini umum berlaku; misalnya dalam hukum Inggris (Copyright Designs and Patents Act 1988) dan Indonesia (UU 19/2002 pasal 8). Dalam undang-undang yang berlaku di Indonesia, terdapat perbedaan penerapan prinsip tersebut antara lembaga pemerintah dan lembaga swasta.

[sunting] Ciptaan yang dapat dilindungi

Ciptaan yang dilindungi hak cipta di Indonesia dapat mencakup misalnya buku, program komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, ceramah, kuliah, pidato, alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan, lagu atau musik dengan atau tanpa teks, drama, drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, pantomim, seni rupa dalam segala bentuk (seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan), arsitektur, peta, seni batik (dan karya tradisional lainnya seperti seni songket dan seni ikat), fotografi, sinematografi, dan tidak termasuk desain industri (yang dilindungi sebagai kekayaan intelektual tersendiri). Ciptaan hasil pengalihwujudan seperti terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai (misalnya buku yang berisi kumpulan karya tulis, himpunan lagu yang direkam dalam satu media, serta komposisi berbagai karya tari pilihan), dan database dilindungi sebagai ciptaan tersendiri tanpa mengurangi hak cipta atas ciptaan asli (UU 19/2002 pasal 12).

[sunting] Penanda hak cipta

Dalam yurisdiksi tertentu, agar suatu ciptaan seperti buku atau film mendapatkan hak cipta pada saat diciptakan, ciptaan tersebut harus memuat suatu "pemberitahuan hak cipta" (copyright notice). Pemberitahuan atau pesan tersebut terdiri atas sebuah huruf c di dalam lingkaran (yaitu lambang hak cipta, ©), atau kata "copyright", yang diikuti dengan tahun hak cipta dan nama pemegang hak cipta. Jika ciptaan tersebut telah dimodifikasi (misalnya dengan terbitnya edisi baru) dan hak ciptanya didaftarkan ulang, akan tertulis beberapa angka tahun. Bentuk pesan lain diperbolehkan bagi jenis ciptaan tertentu. Pemberitahuan hak cipta tersebut bertujuan untuk memberi tahu (calon) pengguna ciptaan bahwa ciptaan tersebut berhak cipta.
Pada perkembangannya, persyaratan tersebut kini umumnya tidak diwajibkan lagi, terutama bagi negara-negara anggota Konvensi Bern. Dengan perkecualian pada sejumlah kecil negara tertentu, persyaratan tersebut kini secara umum bersifat manasuka kecuali bagi ciptaan yang diciptakan sebelum negara bersangkutan menjadi anggota Konvensi Bern.
Lambang © merupakan lambang Unicode 00A9 dalam heksadesimal, dan dapat diketikkan dalam (X)HTML sebagai ©, ©, atau ©

[sunting] Jangka waktu perlindungan hak cipta

Hak cipta berlaku dalam jangka waktu berbeda-beda dalam yurisdiksi yang berbeda untuk jenis ciptaan yang berbeda. Masa berlaku tersebut juga dapat bergantung pada apakah ciptaan tersebut diterbitkan atau tidak diterbitkan. Di Amerika Serikat misalnya, masa berlaku hak cipta semua buku dan ciptaan lain yang diterbitkan sebelum tahun 1923 telah kadaluwarsa. Di kebanyakan negara di dunia, jangka waktu berlakunya hak cipta biasanya sepanjang hidup penciptanya ditambah 50 tahun, atau sepanjang hidup penciptanya ditambah 70 tahun. Secara umum, hak cipta tepat mulai habis masa berlakunya pada akhir tahun bersangkutan, dan bukan pada tanggal meninggalnya pencipta.
Di Indonesia, jangka waktu perlindungan hak cipta secara umum adalah sepanjang hidup penciptanya ditambah 50 tahun atau 50 tahun setelah pertama kali diumumkan atau dipublikasikan atau dibuat, kecuali 20 tahun setelah pertama kali disiarkan untuk karya siaran, atau tanpa batas waktu untuk hak moral pencantuman nama pencipta pada ciptaan dan untuk hak cipta yang dipegang oleh Negara atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama (UU 19/2002 bab III dan pasal 50).

[sunting] Penegakan hukum atas hak cipta

Pemusnahan cakram padat (CD) bajakan di Brasil.
Penegakan hukum atas hak cipta biasanya dilakukan oleh pemegang hak cipta dalam hukum perdata, namun ada pula sisi hukum pidana. Sanksi pidana secara umum dikenakan kepada aktivitas pemalsuan yang serius, namun kini semakin lazim pada perkara-perkara lain.
Sanksi pidana atas pelanggaran hak cipta di Indonesia secara umum diancam hukuman penjara paling singkat satu bulan dan paling lama tujuh tahun yang dapat disertai maupun tidak disertai denda sejumlah paling sedikit satu juta rupiah dan paling banyak lima miliar rupiah, sementara ciptaan atau barang yang merupakan hasil tindak pidana hak cipta serta alat-alat yang digunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut dirampas oleh Negara untuk dimusnahkan (UU 19/2002 bab XIII).

[sunting] Perkecualian dan batasan hak cipta

Perkecualian hak cipta dalam hal ini berarti tidak berlakunya hak eksklusif yang diatur dalam hukum tentang hak cipta. Contoh perkecualian hak cipta adalah doktrin fair use atau fair dealing yang diterapkan pada beberapa negara yang memungkinkan perbanyakan ciptaan tanpa dianggap melanggar hak cipta.
Dalam Undang-undang Hak Cipta yang berlaku di Indonesia, beberapa hal diatur sebagai dianggap tidak melanggar hak cipta (pasal 14–18). Pemakaian ciptaan tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta apabila sumbernya disebut atau dicantumkan dengan jelas dan hal itu dilakukan terbatas untuk kegiatan yang bersifat nonkomersial termasuk untuk kegiatan sosial, misalnya, kegiatan dalam lingkup pendidikan dan ilmu pengetahuan, kegiatan penelitian dan pengembangan, dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari penciptanya. Kepentingan yang wajar dalam hal ini adalah "kepentingan yang didasarkan pada keseimbangan dalam menikmati manfaat ekonomi atas suatu ciptaan". Termasuk dalam pengertian ini adalah pengambilan ciptaan untuk pertunjukan atau pementasan yang tidak dikenakan bayaran. Khusus untuk pengutipan karya tulis, penyebutan atau pencantuman sumber ciptaan yang dikutip harus dilakukan secara lengkap. Artinya, dengan mencantumkan sekurang-kurangnya nama pencipta, judul atau nama ciptaan, dan nama penerbit jika ada. Selain itu, seorang pemilik (bukan pemegang hak cipta) program komputer dibolehkan membuat salinan atas program komputer yang dimilikinya, untuk dijadikan cadangan semata-mata untuk digunakan sendiri[2].
Hak cipta foto umumnya dipegang fotografer, namun foto potret seseorang (atau beberapa orang) dilarang disebarluaskan bila bertentangan dengan kepentingan yang wajar dari orang yang dipotret. UU Hak Cipta Indonesia secara khusus mengatur hak cipta atas potret dalam pasal 19–23.
Selain itu, Undang-undang Hak Cipta juga mengatur hak pemerintah Indonesia untuk memanfaatkan atau mewajibkan pihak tertentu memperbanyak ciptaan berhak cipta demi kepentingan umum atau kepentingan nasional (pasal 16 dan 18), ataupun melarang penyebaran ciptaan "yang apabila diumumkan dapat merendahkan nilai-nilai keagamaan, ataupun menimbulkan masalah kesukuan atau ras, dapat menimbulkan gangguan atau bahaya terhadap pertahanan keamanan negara, bertentangan dengan norma kesusilaan umum yang berlaku dalam masyarakat, dan ketertiban umum" (pasal 17)[2]. ketika orang mengambil hak cipta seseorang maka orang tersebut akan mendapat hukuman yang sesuai pada kejahatan yang di lakukan
Menurut UU No.19 Tahun 2002 pasal 13, tidak ada hak cipta atas hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara, peraturan perundang-undangan, pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah, putusan pengadilan atau penetapan hakim, ataupun keputusan badan arbitrase atau keputusan badan-badan sejenis lainnya (misalnya keputusan-keputusan yang memutuskan suatu sengketa). Di Amerika Serikat, semua dokumen pemerintah, tidak peduli tanggalnya, berada dalam domain umum, yaitu tidak berhak cipta.
Pasal 14 Undang-undang Hak Cipta mengatur bahwa penggunaan atau perbanyakan lambang Negara dan lagu kebangsaan menurut sifatnya yang asli tidaklah melanggar hak cipta. Demikian pula halnya dengan pengambilan berita aktual baik seluruhnya maupun sebagian dari kantor berita, lembaga penyiaran, dan surat kabar atau sumber sejenis lain, dengan ketentuan sumbernya harus disebutkan secara lengkap.

[sunting] Pendaftaran hak cipta di Indonesia

Di Indonesia, pendaftaran ciptaan bukan merupakan suatu keharusan bagi pencipta atau pemegang hak cipta, dan timbulnya perlindungan suatu ciptaan dimulai sejak ciptaan itu ada atau terwujud dan bukan karena pendaftaran[2]. Namun demikian, surat pendaftaran ciptaan dapat dijadikan sebagai alat bukti awal di pengadilan apabila timbul sengketa di kemudian hari terhadap ciptaan[1]. Sesuai yang diatur pada bab IV Undang-undang Hak Cipta, pendaftaran hak cipta diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HKI), yang kini berada di bawah [Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia]]. Pencipta atau pemilik hak cipta dapat mendaftarkan langsung ciptaannya maupun melalui konsultan HKI. Permohonan pendaftaran hak cipta dikenakan biaya (UU 19/2002 pasal 37 ayat 2). Penjelasan prosedur dan formulir pendaftaran hak cipta dapat diperoleh di kantor maupun situs web Ditjen HKI. "Daftar Umum Ciptaan" yang mencatat ciptaan-ciptaan terdaftar dikelola oleh Ditjen HKI dan dapat dilihat oleh setiap orang tanpa dikenai biaya.

[sunting] Kritik atas konsep hak cipta

Copyleft, lisensi untuk memastikan kebebasan ciptaan.
Kritikan-kritikan terhadap hak cipta secara umum dapat dibedakan menjadi dua sisi, yaitu sisi yang berpendapat bahwa konsep hak cipta tidak pernah menguntungkan masyarakat serta selalu memperkaya beberapa pihak dengan mengorbankan kreativitas, dan sisi yang berpendapat bahwa konsep hak cipta sekarang harus diperbaiki agar sesuai dengan kondisi sekarang, yaitu adanya masyarakat informasi baru.
Keberhasilan proyek perangkat lunak bebas seperti Linux, Mozilla Firefox, dan Server HTTP Apache telah menunjukkan bahwa ciptaan bermutu dapat dibuat tanpa adanya sistem sewa bersifat monopoli berlandaskan hak cipta [3]. Produk-produk tersebut menggunakan hak cipta untuk memperkuat persyaratan lisensinya, yang dirancang untuk memastikan kebebasan ciptaan dan tidak menerapkan hak eksklusif yang bermotif uang; lisensi semacam itu disebut copyleft atau lisensi perangkat lunak bebas.

[sunting] Referensi

  1. Undang-Undang Republik Indonesia nomor 19 tahun 2002, tentang HAK CIPTA
  2. ^Konsultasi seputar Hak Kekayaan Intelektual.
  3. Penjelasan atas Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002.

Senin, 20 Desember 2010

Gareth Bale

Gareth Bale, Sempurna Berkat Rugbi

Winger Tottenham Hotspur, Gareth Bale.
“PERMAINAN rugbi sangat mengutamakan fisik yang kuat. Olahraga ini bukanlah untukku. Aku terlalu kurus untuk menjadi pemain rugbi.”

Gareth Bale sempat menjadi trending topics twitter di tanah Inggris setelah mencetak gol indah lewat kaki kirinya ke gawang Stoke City pada pekan-2 Premier League, (21/8). Satu dari dua golnya itu membawa timnya, Tottenham Hotspur, meraih kemenangan pertama pada musim 2010-11.

Permainan apik itu semakin menegaskan arti penting Bale di sisi kiri The Spurs. Hal tersebut sekaligus tanda bahwa dirinya telah mantap menjadi gelandang kiri. Posisi baru yang mulai diakrabinya sejak musim lalu.

Sebelumnya Bale lebih sering bermain sebagai bek kiri. Namun tenaganya terlalu sayang digunakan hanya untuk bertahan. Fisiknya yang kuat membuat Bale juga memiliki kemampuan menyerang yang apik.

Kelebihan itu didapatnya dari hasil menekuni rugbi pada masa lalu.
Bale pernah tercatat sebagai pemain belakang tim rugbi Whitchurch High School saat usianya menginjak 14 tahun.
Sam Warburton, atlet profesional rugbi asal Wales mengaku Bale merupakan salah satu pemain rugbi hebat yang pernah ditemui. Bahkan, Warburton sengaja memilih sekolah yang sama agar bisa bermain dengan pemuda kelahiran Cardiff tersebut.

“Saat itu, aku sengaja memilih Whitchurch agar dapat bermain rugbi bersama Bale. Aku selalu tidak sabar untuk berangkat ke sekolah, semuanya hanya karena ingin berlatih rugbi bersama dirinya,” ungkap Warburton.
Lewat rugbi pula kekuatan kaki kiri Bale mulai terasah. Gwyn Morris, pelatih rugbi Whitchurch membenarkannya.

“Tak diragukan lagi, kekuatan kaki kirinya memang mengaggumkan. Lewat kaki kirinya, Bale melakukan sentuhan pertama dengan bola dengan sangat indah,” ujar Morris.

Pada awalnya, kekuatan kaki kiri Bale tak diimbangi oleh kaki kanannya. Oleh sebab itu, Morris sempat melakukan latihan yang Bale mengharuskan untuk tidak melakukan tendangan lewat kaki kiri.

“Saat itu saya membuat peraturan. Jika dia menggunakan kaki kirinya akan dihitung sebagai pelanggaran,” imbuh Morris. “Kekuatan kaki kirinya sudah tak perlu diragukan lagi. Namun untuk melatihnya menggunakan kaki kanan sungguh sangat sulit.”

Morris menambahkan, pola latihan seperti itu dilakukan hanya untuk menjadikan Bale sebagai pemain rugbi yang andal. “Tim pelatih menginginkan Bale menjadi pemain rugbi yang sempurna. Jika mampu menggunakan kaki kanannya sebaik kaki kirinya, Bale akan menjadi atlet rugbi yang sempurna,”ujarnya.

TERLALU KURUS
Akan tetapi, semua pola latihan yang dilakukan oleh Morris untuk menjadikan Bale pemain rugbi profesional sia-sia. Bale justru lebih memilih sepak bola sebagai masa depannya. Kondisi tubuhnya yang saat itu terhitung kurus untuk ukuran pemain rugbi menjadi salah satu alasan Bale tak melanjutkan kariernya.

“Permainan rugbi sangat mengutamakan fisik yang kuat. Olahraga ini bukanlah untukku. Aku terlalu kurus untuk menjadi pemain rugbi,” tegas pemuda berusia 21 tahun tersebut. “Aku bukanlah Sam dan teman-teman lainnya yang memiliki tubuh besar. Mereka pantas bermain rugbi, sedangkan aku tidak.”

Keputusan Bale menjadi pebola disyukuri manajernya di Tottenham, Harry Redknapp. Manajer yang dijuluki Houdini tersebut mengatakan timnya beruntung memiliki pemain seperti Bale. “Bale merupakan pemain yang tak ternilai harganya,” puji Redknapp.

Redknaap menambahkan, skill menawan yang diperlihatkan dari musim lalu menjadikan Bale sebagai salah satu pemain yang paling diburu oleh klub-klub besar di dunia. “Kini, seluruh klub menginginkan Bale mengisi pos sayap kiri mereka,” kata Redknapp
Akan tetapi, The Spurs masih beruntung. Bale tetap mengisi posisi sayap kiri mereka. Sudah pasti performa apik dari sisi tersebut terus terjaga dengan adanya Bale. (Hilman/Soccer)

Fakta Bale
Nama lengkap:
Gareth Frank Bale
Julukan: -
Lahir: Cardiff (Wales), 16 July 1989
Tinggi/Berat: 183 cm/74 kg
Posisi: Midfielder
Nomor kostum: 3 (Tottenham Hotspur)
Debut Premier League: 26 Agustus 2007, Man. United 1-0 Tottenham Hotspur
Debut timnas:  27 Mei 2006, Wales 2-1 Trinidad dan Tobago

Terbaik di Sayap Kiri
Tak salah manajer Harry Redknapp mengatakan Bale adalah pemain terbaik untuk pos sayap kiri di Premier League. Musim lalu, dibandingkan winger kiri Premier League lainnya, Bale menjadi pemain yang paling sering melakukan dribble dengan sukses hingga pertahanan lawan. Dibandingkan dengan pemain lain di posisi berbeda, nama Bale-tetap tercantum di 5-besar.
 

G. Bale (2.37)
J. Cole (1.96)
F. Malouda (1.80) Defender/Midfielder Kiri
Nama (Dribble sukses/90 menit

A. Arshavin (1.67)
Nani (1.64)
P. Evra (1.34)
A. Cole (1.00)

Seluruh Posisi
Pemain (Dribble/90 menit)

A. Diaby (2.98)
S. Wright –Phillips (2.89)
C. N’Zogbia (2.82)
E. Eboue (2.53)
G. Bale (2.37)

Adopsi Ilmu Cole
Setiap pemain sepak bola tentunya memiliki panutan pada awal kariernya.
Seperti halnya Gareth Bale, yang mengagumi bek kiri timnas Inggris, Ashley Cole. Itulah sebabnya Bale langsung memantapkan pilihannya bermain di posisi tersebut.

“Sangat penting bagi pemain muda belajar dari orang lain. Cole merupakan salah satu yang terbaik di bek kiri,” ingat Bale ketika masih di Southampton. “Aku banyak melihat Cole bermain. Bagaimana cara dia bertahan dan membantu serangan.”

Bale juga kagum dengan ketangguhan fisik yang dimiliki mantan suami Cheryl Tweedy tersebut. Menurut Bale, hal ini penting karena bermain di Premier League membutuhkan daya tahan dan stamina yang prima.

Setelah belajar dari panutannya, Bale lantas meningkatkan lagi kemampuan lainnya, yakni mencetak gol dari tendangan bebas. Klub-klub seperti Arsenal, Crystal Palace dan Derby County pernah merasakan gawangnya bobol dari aksi freekick Bale. = Okky

Melesat 1.500 meter dalam 4 menit
Gareth Bale merupakan anak bungsu dari pasangan Frank dan Debbie. Sang ayah adalah seorang guru, sedangkan ibunya bekerja untuk lembaga hukum di Wales. Dia memiliki seorang kakak perempuan bernama Vicky.

Sejak kecil, Bale sudah gemar berolahraga. Sang ayah mengenalkan olahraga kepada Bale sejak berusia 3 tahun. “Ayah begitu gemar rugbi dan sepak bola. Ibu pun senang melakukan berolahraga ketika masih muda,” kenang Bale.

Masa-masa sekolah Bale di Whitchurch dilaluinya dengan segala aktivitas yang berhubungan dengan olahraga. Selain bermain sepak bola, Bale juga merupakan pelari tercepat di sekolahnya. Saat itu, Bale dapat menempuh jarak 1.500 meter dengan waktu sekitar 4 menit.
Rugbi dan hoki pun pernah digeluti pemuda berusia 21 tahun tersebut. Namun pada akhirnya, Bale menjatuhkan pilihannya untuk menjadi atlet sepak bola. Rupanya Bale ingin mengikuti jejak sang paman, Chris Pike yang pernah menjadi idola suporter Cardiff City, klub kota kelahiran Bale. (Okky/Soccer)

Kamis, 09 Desember 2010

Sistem Media Penyiaran Televisi Indonesia


Melalui tulisan singkat berikut ini saya hendak berbicara mengenai sistem penyiaran di Indonesia, khususnya media televisi. Untuk mengetahui sistem penyiaran sebuah negara secara umum mungkin dapat kita lihat dari dasar ideologi atau falsafah yang dimiliki negara tersebut. Namun dalam tulisan saya ini saya hendak memfokuskannya dari sudut pandang bentuk kebijakan diterapkan oleh pemerintah negara tersebut, katakanlah melalui produk hukum yang mengikat seputar masalah penyiaran di negara tersebut.
Menurut Jan van Cuilenburg dan Denis McQuail dalam Media Policy Paradigm Shift: Towards a New Communication Policy Paradigm (2003:181) di Amerika Serikat dan Eropa Barat terdapat tiga fase pergeseran paradigma kebijakan komunikasi dan media. Fase pertama adalah the paradigm of emerging communication industry policy, yang berlangsung hingga PD II. Pada fase ini kebijakan media dan komunikasi berdasarkan pada state interest dan keuntungan ekonomi korporat. Monopoli yang dilakukan pemerintah untuk “mengatur dan memfasilitasi pengenalan dari inovasi-inovasi teknologi” yang saat itu marak terjadi. Hal tersebut dapat kita lihat dari pengalaman yang dialami Amerika Serikat, dimana pada fase tersebut temuan-temuan teknologi komunikasi pada akhirnya menjadi monopoli pihak tertentu. Dengan kata lain pada akhirnya memperlakukan media komunikasi sebagai cabang-cabang industri yang memiliki nilai strategis (Cuilenburg, 2003:188).
Yang kedua adalah the paradigm of public service media policy, yang berlangsung sejak tahun 1945 hingga 1980/90an). Fase ini titik beratnya lebih kepada aspek sosiopolitik, dimana aspek social mulai dipehatikan. Sedangkan fase yang ketiga adalah new policy paradigm, yang berlangsung sejak tahun 1980/90an hingga detik ini. Pada fase ketiga ini bentuk paradigma kebijakan yang jelas masih dalam proses pencarian. Yakni mencari konvergensi antara berbagai aspek yang ada
Terlepas dari ketiga bentuk paradigma tersebut saya melihat bahwa yang terjadi di Indonesia tampak seperti sebuah siklus. Dimana masa sekarang Indonesia berada pada posisi authoritarian-right. Posisi yang mencerminkan pengaturan media yang masih diwarnai kontrol yang cukup ketat namun sudah berorientasi pada pasar. Oleh karena itu pendekatan ini cenderung untuk melakukan deregulasi pasar namun pada saat yang sama melakukan kontrol yang ketat pada aspek-aspek negatif dari dibukanya pasar tersebut1.
        Sistem yang ada memang mengarah pada persaingan pasar, namun di sisi lain tetap terkesan belum liberatorian karena pemerintah yang belum mau melepas kekuasaannya. Dengan kata lain, kita mungkin sedang menyaksikan kembalinya sebuah era di mana pemerintah bersama pemodal besar menentukan apa yang apa yang dapat disaksikan dan didengar oleh rakyat Indonesia melalui pesawat televisi dan radio mereka2.
Sebagai gambaran pada orde baru pemerintah pemerintah dengan beragam produk kebijakannya telah melakukan tiga hal. Berada di jantung sistem penyiaran Indonesia, frekuensi siaran menjadi dikuasai elit yang dekat dengan pemegang kekuasaan, dan terus melindungi kepentingan stasiun-stasiun televisi di Jakarta dari perkembangan yang merugikan stasiun-stasiun tersebut dengan rangkaian kebijakan yang protektif. Sementara saat ini tampaknya bentuk-bentuk semacam itu mulai kembali tampak meskipun tidak secara kasat mata.
UU Penyiaran akhirnya lahir pada 2002 seolah mendorong terjadinya demokratisasi penyiaran. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dibentuk sesuai amanat UU Penyiaran tersebut dimana KPI bertanggungjawab kepada DPR dan keanggotaannya berasal dari mereka yang diharapkan tidak mewakili kepentingan industri penyiaran, pemerintah, ataupun partai politik.
Berdasarkan UU Penyiaran pula TVRI dan RRI yang semula adalah lembaga penyiaran pemerintah diubah statusnya menjadi lembaga penyiaran publik (Bagian keempat Pasal 14 ayat 1-10 tentang Lembaga Penyiaran Publik). Dengan keputusan ini diharapkan mengubah RRI dan TVRI yang selama ini menjadi corong Orba. Selain itu UU Penyiaran juga memperkenalkan kehadiran lembaga penyiaran komunitas (LPK) (Bagian keenam Pasal 21-24 tentang Lembaga Penyiaran Komunitas). Dari poin-poin tersebut, kehadiran UU Penyiaran tampak semakin mendorong demokratisasi. Namun tetap saja pemerintah masih punya keterlibatan, UU penyiaran menetapkan bahwa peraturan-peraturan lebih lanjut harus disusun oleh KPI bersama pemerintah (Bagian kesebelas Pasal 33 ayat 1-8 tentang Perizinan). Adalah jelas bahwa UU Penyiaran 2002 menetapkan bahwa peran pemerintah tetap ada, namun dibuat sedemikian rupa sehingga lebih dalam tujuan agar menjaga jangan KPI menjadi pemegang kekuasaan mutlak3.
Dan yang lebih mengejutkan lagi mengenai UU Penyiaran ini adalah terjadinya pengajuan peninjauan kembali UU ini kepada MK oleh pihak media. Sesuatu yang mungkin sedikit membuat kita bertanya dan menimbulkan sedikit tuduhan bahwa telah terjadi main mata antara industri media dengan pemerintah. Dimana di satu sisi pihak industri media ingin menjatuhkan UU ini untuk mencegah masuknya pemain-pemain baru yang memperketat persaingan pasar, sedangkan disisi lain memang pemerintah masih ingin menjadi pihak yang memiliki kekuasaan atas sistem penyiaran Indonesia. Namun semoga saja tidak demikian, melainkan lebih pada keinginan bersama untuk menciptakan suatu sistem yang lebih demokratis.

Minggu, 05 Desember 2010

KODE ETIK IKATAN JURNALIS TELEVISI INDONESIA

IJTI (Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia), suatu asosiasi yang menghimpun para jurnalis televisi dan didirikan pada era reformasi, yakni pada bulan Agustus 1998, menyusul pengunduran diri Presiden Soeharto. Pada saat itu, ratusan jurnalis televisi dari RCTI, TPI, SCTV, Indosiar, dan ANTV berkumpul di Jakarta untuk melakukan kongres pertama dan sepakat mendirikan IJTI dan memilih pengurus pertama organisasi ini.
SEKILAS SEJARAH IJTI
A. AWAL PENDIRIAN
25 April 1998 Berawal dari pembicaraan beberapa reporter Indosiar dan SCTV, yang sedang mengadakan peliputan di Pulau Panjang Kepulauan Seribu, maka disepakati ide pembentukan Organisasi Jurnalis Televisi , yang bisa menjadi wadah pemberdayaan dan peningkatan profesi para jurnalis televisi. Pertemuan ini melahirkan gagasan pembentukan organisasi jurnalis televisi swasta dan pemerintah.
30 Mei 1998 Pembentukan organisasi itu pada akhirnya direalisasikan dengan pertemuan informal di Pasar Festifal Kuningan Jakarta Selatan, yang dihadiri sejumlah reporter dan kameramen televisi dari ANTV, Indosiar, SCTV dan RCTI. Pertemuan ini membicarakan berbagai masalah yang dihadapi para pengemban profesi ini. Baik disebabkan belum adanya kode etik, maupun berbagai tekanan-tekanan yang membatasi tugas profesi. Disepakati pembentukan forum Komunikasi Jurnalis Televisi, yang diharapkan menjadi sarana berkumpul dan membicarakan berbagai masalah yang kerap dihadapi para pengemban profesi ini.
06 Juni 1998 Melanjutkan pembicaraan di pasar Festival Kuningan Jakarta selatan , maka para jurnalis Televisi yang menghadiri pertemuan di Café Venesia.TIM Jakarta akhirnya mendeklarasikan pembentukan Forum Komunikasi Jurnalis Televisi. Dengan tujuan utama sebagai wadah pemberdayaan dan peningkatan profesionalisme para jurnalis Televisi.

30 Juni 1998 Berangkat dari pemikiran bersama itulah maka, diadakan pertemuan antara para pemimpin redaksi dan anggota forum di ANTV, gedung Sentra Mulia Lt-18 Kuningan Jakarta. Disinilah gagasan pembentukan organisasi wartawan televisi itu dimatangkan, karena ternyata para pimpinan di bagian pemberitaan jauh-jauh hari juga memikirkan hal yang sama , terutama setelah lengsernya presiden Soeharto 22 Mei 1998 yakni perlunya organisasi wartawan televisi. Pimpinan Redaksi ANTV selaku tuan rumah pertemuan menyatakan, yang dibutuhkan sekarang adalah organisasi yang memiliki kekuatan menegakkan etika jurnalistik, dan melindungi anggotanya, bukan sekedar forum komunikasi.
Dari pertemuan tersebut kemudian dibentuk panitia persiapan pembentukan organisasi, yang didalamnya terdiri dari kelompok kerja yakni : 
Pokja AD / ART : Ruslan Abdul Ghani (Ketua) Pokja Kode Etik : Sumita Tobing (Ketua) Pokja Persiapan Kongres : Herling Tumbel (Ketua) Redaksi ANTV disepakati sebagai sekretariat panitia

03 Juli 1998 Hasil dari Kelompok Kerja yakni membentuk Panitia Persiapan Kongres yakni :

Panitia Pengarah Ketua : Dedy Pristiwanto ( Indosiar ) Wakil Ketua : Sumita Tobing ( SCTV ) Anggota : H. Azkarmin Zaini ( ANTV )
Yasirwan Uyun ( TVRI )
                         Faizar Noor ( TPI )
                         Crys Kelana  ( RCTI )

Panitia Pelaksana Ketua Presidium : Haris Jauhari ( TPI ) Anggota Presidium : Iskandar Siahaan (SCTV )
Adman Nursal  ( ANTV )
                        Nugroho F. Yodho ( Indosiar )
                        Teguh Juwarno   (RCTI )

Selain mempersiapkan Kongres, panitia juga diberi mandat untuk menyelenggarakan seminar dengan topik "Peran Politik Jurnalisme Televisi" pada tanggal 7 Agustus 1998, di Hotel Menara Peninsulla dan Kongres I tanggal 8 dan 9 Agustus 1998 ditempat yang sama.

Persiapan Kongres Dalam mempersiapkan Kongres pertama, kepanitiaan dibentuk dengan melibatkan sebanyak mungkin pihak , bukan saja dari reporter, kameramen dan video editor tetapi juga pihak pimpinan dan menejemen televisi. Ini dilakukan dengan pertimbangan, pimpinan atau manajemen televisi, akan menjadi mitra bagi organisasi Jurnalis Televisi. Stasiun Televisi sebagai industri, merupakan pihak yang juga berkepentingan dengan hadirnya wadah ini, baik dalam memperjuangkan kehidupan pers yang kondusif, berkembangnya industri pers serta peningkatan professionalisme profesi Jurnalis Televisi.

Kongres I Kongres Pertama Jurnalis Televisi Indonesia diadakan di Hotel Menara Peninsulla tanggal 8-9 Agustus 1998, diikuti tidak kurang dari 300 peserta dari jurnalis TVRI, RCTI, SCTV, TPI, Indosiar dan ANTV. Inilah Kongres yang berlangsung semarak diawal gerakan reformasi. Gerakan reformasi itu pula yang mempermudah insan jurnalis televisi untuk berhimpun dengan semangat kebersamaan memperjuangkan kebebasan pers dengan menjunjung tinggi kejujuran, keadilan serta professionalisme dalam menegakkan demokrasi.
Berbagai keputusan yang dihasilkan adalah Deklarasi pembentukan organisasi yang mengambil nama Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia disingkat IJTI. Kongres juga menetapkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, Program Kerja dan Kode Etik Jurnalis Televisi Indonesia serta menetapkan saudara Haris Jauhari sebagai Ketua Umum terpilih sekaligus ketua Formatur dan anggota Formatur adalah Reva Deddy Utama, Zihni Rifai, Nugroho F. Yudho dan Iskandar Siahaan.
Rapat Formatur akhirnya menetapkan susunan Dewan Pengurus sebagai berikut :
Ketua Umum : Haris Jauhari (TPI) Sekretaris Jenderal : Ahmad Zihni Rifai (RCTI) Wakil Sekjend : Nugroho F.Yudho (Indosiar) Bendahara : Kukuh Sanyoto ( RCTI) Ketua Bidang Organisasi : Reva Deddy Utama (ANTV) Ketua Bidang Diklat dan Litbang : Iskandar Siahaan (SCTV) Ketua Bidang Kesejahteraan dan Advokasi : Despen Omposunggu (Indosiar) Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri : Usy Karundeng (TVRI)
Pengurus juga memberikan mandat antara lain kepada Azkarmin Zaini (ANTV), Deddy Pristiwanto (Indosiar), Yasirwan Uyun (TVRI), Sumita Tobing (SCTV), sebagai anggota Dewan Kehormatan IJTI, yang bertugas mengawasi pelaksanaan Kode Etik IJTI. Dalam perjalananya, karena Ahmad Zihni Rifai tidak aktif lagi sebagai jurnalis, maka kedudukanya digantikan oleh Nugroho F.Yudho sebagai Sekjend dan Teguh Juwarno sebagai Wakil Sekjend. Sementara Despen Omposunggu karena tidak aktif juga kedudukanya sebagai Ketua Bidang Advokasi dan Kesejahteraan digantikan oleh Herling Tumbel. Kukuh Sanyoto sebagai Bendahara juga karena tidak aktif lagi sebagai jurnalis dan tidak mampu menjalankan tugasnya sebagai pengurus, maka kedudukanya diganti Immas Sunarnya (TVRI)

B. PENATAAN ORGANISASI
Kongres memang telah berakhir, namun Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yang diputuskan dalam Kongres ternyata masih banyak ketimpangan dan tidak sinkron, sehingga untuk melancarkan tugas-tugas Dewan Pengurus, diadakan pengkajian ulang oleh Pleno Pengurus IJTI secara mendalam dengan maksud menyempurnakanya. Pembahasan dilakukan diredaksi TPI, setelah Pengurus IJTI tersusun lengkap sampai ketingkat staf departemen.
Kesulitan pertama menjalankan organisasi ini adalah tidak adanya sekretariat yang mapan. Untuk itu dari sumbangan dermawan, maka terkumpulah dana untuk mengontrak kantor Sekretariat di Jalan Danau Poso D-1 Nomor 18 Benhil Jakarta Pusat. Disinilah kegiatan IJTI dilakukan, sekitar empat bulan setelah Kongres. Sebelum itu kegiatan berupa seminar tentang Pers dan Penyiaran dikendalikan oleh Pengurusnya dari markas dimana ia berkantor sebagai jurnalis.
Antusiasme Jurnalis dari berbagai Daerah meningkat dan terdapat desakan agar IJTI membentuk cabang di daerah. Namun karena terganjal perangkat organisasi (AD/ART) yang memang tidak mengamanatkan terbentuknya cabang IJTI di daerah, maka pengembangan organisasi itupun menjadi persoalan tersendiri. Namun berdasarkan rapat pengurus, ditetapkan pembentukan Kordinatoriat Daerah, dengan terlebih dahulu membuat aturan main organisasi yang dipercayakan pada Bidang Organisasi IJTI. Sejak itulah lahir pedoman Organisasi Korda yang berisi ketentuan organisasi IJTI di tingkat Daerah Propinsi, sebagai kepanjangan tangan IJTI pusat di Jakarta, khusus untuk membina keanggotaan dan melakukan tugas-tugas lain yang berkaitan dengan peningkatan profesi jurnalisme anggota.

C. PENGEMBANGAN ORGANISASI
Pada tahun 1999, secara resmi terbentuk 9 Korda. Mereka adalah kepanjangan tangan dari pengurus IJTI di daerah. Kesembilan Korda tersebut adalah :
1. Korda Jawa Barat di Bandung , dengan Ketuanya Ilmi Hatta. 2. Korda Jawa Tengah di Semarang, dengan Ketuanya Bambang Hengky. 3. Korda Jawa Timur di Surabaya, dengan Ketuanya Dheny Reksa. 4. Korda Sumatera Utara di Medan (meliputi Aceh dan Riau) dengan Ketuanya Bagi Astra Sitompul. 5. Korda Sumatera Selatan di Palembang, dengan Ketuanya Epran Mendayun. 6. Korda Kalimantan Selatan di Banjarmasin, dengan Ketuanya Beben Mahdian Noor. 7. Korda Sulawesi Selatan di makassar, dengan ketuanya Hussain Abdullah. 8. Korda Sulawesi Utara di Manado, dengan Ketuanya Fais Albar. 9. Korda Bali dan NTB di Denpasar, dengan Ketuanya Moh. Hafizni.
Beberapa kegiatan yang telah dilaksanakan antara lain pelatihan Jurnalisme Pemilu dan Sidang Umum MPR 1999 serta pelatihan Video Editor. Untuk Pelatihan jurnalisme Pemilu, pesertanya tidak hanya dari Jurnalisme televisi, tetapi juga dari radio dan media cetak.
Tuntutan pembentukan Korda nampaknya terus berdatangan dari insan jurnalis televisi di luar daerah tersebut. Apalagi jumlah anggota saat itu sudah tercatat 800 orang (tahun 2001 ini tercatat 1.105 orang). Tuntutan itu datang dari sejumlah jurnalis Televisi dari daerah Yokyakarta, Lampung dan Aceh, namun tuntutan itu belum terlaksana karena IJTI ingin melihat perkembangan Korda yang ada, dan setelah dievaluasi akan ditingkatkan statusnya menjadi cabang jika Kongres II IJTI mengamanatkanya.
Sejalan dengan pengembangan organisasi itu pula, untuk pertamakalinya pada tahun 1999 diadakan IJTI Award, yakni penghargaan tertinggi dari IJTI untuk insan Jurnalis televisi terhadap karya jurnalistik anggota IJTI dan Program Berita terbaik televisi. IJTI Award juga diberikan kepada mereka yang berjasa dibidang pertelevesian. IJTI Award untuk yang kedua kalinya diselenggarakan pada tahun 2000.
Sebagai organisasi yang baru menapak untuk bangkit mencari bentuk, sejumlah kegiatan baik yang berupa peningkatan profesi jurnalisme anggota maupun kesejahteraan advokasi, memang belum terasakan oleh seluruh anggota. Misalnya asuransi kecelakaan baru diperuntukkan bagi 200 anggota peliput Pemilu dan Sidang Umum, serta perlindungan wartawan baru melalui rompi berkop IJTI. Sementara pemberian advokasi bagi jurnalis yang terkena tindakan kekerasan baru sebatas mencari fakta dan sebatas mengadukan kepolisi dan pimpinan militer. Misalnya dalam kasus "Penonjokan" wartawan oleh Gubernur Jawa Timur, pemukulan kameramen RCTI M. Ali Raban oleh oknum TNI di Aceh, penganiyaan reporter ANTV Gunawan Kusmantoro oleh Oknum kader Golkar di Slipi Jakarta, pengeroyokan wartawan di Sijunjung Sumatera Barat, dan sejumlah kasus lain yang menyusul berikutnya.
Sementara terhadap perkembangan regulasi dibidang pers dan penyiaran, IJTI baru berpartisipasi sebagai penyumbang ide dan sikap dalam RUU Pers maupun RUU Penyiaran, yang intinya adalah jaminan kemerdekaan pers, perlindungan Wartawan dan mencegah agar masalah kinerja jurnalisme televisi tidak diatur oleh Undang-Undang melainkan dikembalikan kepada Kode Etik Jurnalistik. IJTI juga mendesak kepada perusaan pers agar pemberian kesejahteraan berdasarkan standar kompetensi minimum pekerja pers. Sayangnya standar kompetensi yang dimaksud selama ini baru sebuah gagasan yang belum terumuskan.
IJTI sebagai salah satu dari anggota 26 organisasi wartawan juga turut merumuskan Kode Etik Wartawan Indonesia tahun 1999. Tahun 2000, IJTI mempelopori terbentuknya Komisi Nasional Penyiaran (Komnas Penyiaran), serta pembentukan Kelompok Kerja yang mempunyai tugas mempersiapkan terbentuk dan berfungsinya Komnas Penyiaran. Pembentukan Komisi Nasional Penyiaran ini dideklarasikan usai Seminar dan Lokakarya "Menyoal Kebijakan Lembaga Penyiaran" di Hotel Santika pada tanggal 18 April 2000 dan ditandatangani oleh wakil-wakil dari 12 organisasi dan masyarakat penyiaran. Deklarasi ini lebih merupakan desakan agar pengelolaan frekwensi yang menjadi nafas dari penyiaran dan merupakan ranah publik itu harus dikelola secara transparan oleh lembaga independen.
Persiapan Kongres II Kepengurusan IJTI periode 1998-2001 mestinya berakhir bulan Agustus 2001, tetapi karena banyak pengurus tidak aktif, lagi pula banyak kegiatan yang menyita perhatian publik khususnya dibidang politik dimana insan jurnalis harus menjalankan tugasnya (seperti Sidang Istimewa MPR), maka Kongres pun ditunda. Pengurus IJTI telah menunjuk Teguh Juwarno (Wakil Sekjen) sebagai Ketua Panitia Pengarah Kongres dan Syaeifurrahman Al-Banjary (Ketua Departeman Organisasi) dan Asroru Maula (Litbang) masing-masing sebagai Ketua dan Sekretaris Panitia Pelaksana, baru menjalankan tugasnya bulan September 2001. Kepanitiaan pun dilengkapi sambil jalan, dengan menyiapkan berbagai rancangan Kongres yang hendak diputuskan.

Pelaksanaan Kongres II Pada tanggal 26-27 Oktober 2001, Kongres II dilaksanakan di Hotel Santika Jakarta, didahului Seminar bertajuk "Mengkaji Ulang Posisi Pers dalam Konteks Kepentingan Nasional". Dalam Kongres ini juga digelar debat Publik "Menyoal Kebijakan Pemerintah dalam Menjamin Kebebasan Pers dan Penyiaran" bersama Menteri Negara Informasi dan Komunikasi Syamsul Muarif. Inilah Kongres yang untuk pertama kali diikuti peserta dari utusan Korda, selain anggota dari Jakarta.
Kongres II yang dilaksanakan di Hotel Santika Jakarta tersebut pada akhirnya yang terpilih sebagai Ketua Umum/Formatur adalah : 1. Ray Wijaya : Ketua Umum/Formatur. 2. Syaefurrahman Al-Banjary : Anggota Formatur 3. Asroru Maula : Anggota Formatur 4. Elprisdad : Anggota Formatur 5. Tiur Maida Tampubolon : Anggota Formatur

Dan setelah melalui rapat formatur, ketua umum dan anggota formatur pada tanggal 2 November dan 19 November 2001 di Jakarta, pada akhirnya mengesahkan susunan Pengurus IJTI Periode 2001-2004 dibawah kepemimpinan saudara Ray Wijaya dan Saudara Syaifurrahman Al-Banjary, masing-masing sebagai Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal dengan susunan pengurus sebagaimana berikut:
1. Ketua Umum : Ray Wijaya (RCTI) 2. Sekretaris Jenderal : Syaefurrahman Al-Banjary (ANTV) 3. Wakil Sekretaris Jenderal : Ahmad Setiono (RCTI) 4. Bendahara  : Tiurmaida Tampubolon (TPI) 5. Wakil Bendahara  : Shanta Curanggana (TRANS TV) 6. Ketua Bidang Organisasi  : Eric Tamalagi (TPI) 7. Ketua Bidang Advokasi & Kesejahteraan : Elprisdad (ANTV) 8. Ketua Bidang Diklat dan Litbang  : Asroru Maula 9.Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri  : Rizal Yussac (TV 7)

PENCAPAIAN PROGRAM PERIODE 2001-2004
Salah satu yang menonjol program kerja pada periode ini adalah di bidang peran organisasi dalam bidang pembangunan pers dan penyiaran nasional. Pengurus IJTI selalu aktif dalam memberikan masukan terhadap RUU Penyiaran dan terlibat dalam pembahasan di dalamnya sebagai peserta pasif ketika DPR dan Pemerintah membahasnya. IJTI dengan caranya sendiri, misalnya melakukan lobi-lobi dengan anggota dewan menyamakan pendapatnya. Juga dalam forum terbuka yang diselenggarakan oleh Kementrian Informasi dan Komunikasi di Jalan Merdeka Barat. Dalam kesempatan itu utusan IJTI Syaefurrahman secara tegas menolak pasal-pasal pidana dalam RUU Penyiaran karena akan menghambat kegiatan jurnalisme dan menjadi ancaman. Usulannya adalah memasukan aturan itu pada kode etik profesi saja. Kriminalisasi terhadap aturan etika profesi sudah tidak zamannya masuk dalam Undang-undang. Namun soal ini akhirnya gagal dicegah masuk UU, sehingga IJTI dan sejumlah organisasi lainnya mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Organisasi itu adalah ATVSI, PRSSNI, PPPI, Persusi, dan Komteve. Hasilnya dalah majelis hakim mengabulkan sebagian gugatan khusunya mengenai kewenangan pemerintah dalam membuat peraturan pelaksana UU Penyiaran. Kalau tadinya yang berhak membuat PP adalah Pemerintah bersama KPI, sekarang menjadi hanya pemerintah saja. Keputusan ini sesungguhnya diluar dugaan IJTI. Upaya menghapus kriminalisasi kode etik, gagal sehingga hal ini terus diperjuangkan di masa-masa mendatang, agar kebebasan pers dapat ditegakkan. Peran lainnya dalah memberikan masukan kepada DPR tentang UU Kebebasan memperoleh Informasi. Demikian juga sejumlah pernyataan pers mengenai kebijakan penyiaran dan soal-soal kekerasan terhadap jurnalis televisi. Dalam kaitannya dengan Pemilu, IJTI berhasil mengumpulkan sejumlah organisasi untuk bersama-sama membentuk forum atau koalisi yang menyerukan pemilu jurdil dan bebas dari kekerasan. Termasuk kekerasan terhadap jurnalis. Pada periode ini juga IJTI yang mengkoordinir Koalisi Anti Kekerasan terhadap Wartawan dengan anggota dari AJI, PBHI, Kontras, PWI Reformasi, IMPLC, Media Watch, PFI dan SEAPA, berhasil mendesakkan perlunya komisi yang menangani kekerasan terhadap wartawan di Komnas HAM. Ini belajar dari kasus penyanderaan terhadap Ersa Siregar dan Ferry Santoro, serta kekerasan lain yang menimpa wartawan baik oleh oknum maupun dilakukan aparat keamanan dan TNI.
Kegiatan lain yang cukup menonjol adalah peluncuran VCD Bom Bali dan buku Bom Bali. Ini merupakan peran IJTI terhadap perang melawan kekerasan. VCD dicetak 1000 buah, demikian juga buku bom Bali: Dari Legian ke Marriott. Ditulis oleh Syaefurrahman, Sodiqin Nursa dan Wahyu Widayat.
Persiapan Kongres III Kepengurusan IJTI Periode 2001-2004 mustinya berakhir pada bulan Nopember 2004, akan tetapi dikarenakan banyak pengurus yang tidak aktif, sehingga kongres tertunda beberapa kali. Lagi pula banyak kegiatan yang menyita pengurus di stasiun penyiarannya masing-masing seperti adanya musibah gempa dan tsunami di Aceh dan Nias yang merupakan musibah terbesar dinegeri ini, sangat menyita perhatian insan jurnalis. Dewan Pengurus melalui rapat pleno menugaskan Aris Budiono (ANTV) sebagai panitia Kongres-3 bersama Atie Rochyati (Dept. Pemb. Anggota non aktif). Jauh sebelumnya persiapan telah dimulai oleh Sekjen Syaefurrahman Al-Banjary dengan menyusun materi kongres (draf) dibantu Saudara Farichin dan Budi Setiawan (staf di IJTI). Dengan dibantu beberapa orang akhirnya Panitia Lengkap terbentuk, namun hanya beberapa saja yang aktif. Meski demikian Kongres tetap berhasil dilaksanakan di Hotel Twins Plaza Jalan S. Parman tanggal 21 – 22 Juli 2005.
Pelaksanaan Kongres Ke-3 Kongres ke-3 kali ini cukup meriah dibanding kongres ke-2. Ini karena telah didahului sosialisasi yang cukup ke beberapa stasiun televisi baru seperti Lativi (sekarang berganti nama menjadi TVone), Global TV dan televisi lama Indosiar. Ke Televisi lainnya sosialisasi dilakukan melalui selebaran yang memuat kegiatan seputar kongres dan bursa calon kandidat. Sebelumnya, draf kongres juga telah dikirimkan ke stasiun televisi untuk dibahas, juga ke korda-korda di seluruh Indonesia. Tidak kurang dari 120 orang terlibat dalam kongres, meski pada akhir kongres (pemilihan ketua umum hanya 75 orang yang hadir dan berhak memberikan suaranya). Peserta dari daerah antara lain Banjarmasin, Manado, Palembang, Medan, Palu, Ambon, Lombok, Bandung, dan Semarang. Kongres kali ini juga dihadiri peserta dari televisi lokal antara lain TA-TV Solo, Srijunjungan TV Jambi, dan lain-lain. Kongres diawali dengan Seminar tentang "Membangun Kebebasan Pers tanpa kekerasan dan Intervensi Kekuasaan" dengan nara sumber MM Billah dari Komnas HAM, Suryopratomo dari Kompas, Iskandar Siahaan (IJTI), dan Menkominfo yang menugaskan Dirjen Hubungan Media. Kongres berhsil memutuskan sejumlah ketetapan : 1. AD/ART 2. Program Kerja 3. Kode Etik 4. Rekomendasi eksteren dan interen 5. Pengurus baru periode 2005-2009. 6. Dewan Etik berjumlah 7 orang
Salah satu keputusan yang baru dalam kongres kali ini adalah masa kepengurusan yang tidak lagi 3 tahun tetapi 4 tahun dengan pertimbangan agar pengurus lebih fokus pada kegiatan, dan dirasa terlalu singkat jika masa kerjanya tiga tahun. Sementara rekomendasi interen yang sangat penting adalah akan dibentuknya badan hukum lembaga pengembangan profesi jurnalis televisi Indonesia, yang tugasnya melakukan pelatihan dan sertifikasi atau standarisasi profesi jurnalis televisi.
Dewan Pengurus terpilih masa kerja 2005 – 2009 adalah: 1. Ketua Umum  : Imam Wahyudi (RCTI) 2. Sekretaris Jenderal  : Elprisdat (ANTV) 3. Ketua Bidang Organisasi dan Kelembagaan : Makrun Sanjaya (Metro TV) 4. Ketua Bidang Diklat dan Litbang  : Rizal Mustari (Trans TV) 5. Ketua Bidang Hubungan Internasional : Pipit Irianto (TVRI) 6. Ketua Bidang Advokasi dan Kesejahteraan : Pasaoran Simanjuntak (TV-7) 7. Bendahara  : Aris Budiono (ANTV)
Dewan pengurus juga melengkapi kepengurusannya dengan wakil Sekjen dan Wakil Bendahara serta wakil-wakil ketua. Sesuai saran peserta kongres, kepengurusan kali ini juga akan dilengkapi dengan komisariat di masing-masing stasiun televisi untuk memudahkan koordinasi. Keputusan lainnya yang baru adalah diubahnya Korda menjadi Pengurus Daerah dengan pertimbangan agar pengurus daerah lebih otonom dan tidak hanya melakukan fungsi koordinasi. ***
KETETAPAN KONGRES IKATAN JURNALIS TELEVISI INDONESIA (IJTI) KE-3Nomor : 05/KONGRES-3/07/2005 Tentang KODE ETIK IKATAN JURNALIS TELEVISI INDONESIA
Kongres Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) ke-3, setelah :
MENIMBANG : 1. Bahwa untuk menegakkan martabat,integritas dan mutu Jurnalis, dipandang perlu adanya aturan yang mengikat anggota Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia dalam menjalankan tugas jurnalistiknya.
2. Bahwa untuk itu dipandang perlu menetapkan Kode Etik Jurnalis Televisi   Indonesia.
MENGINGAT : 1. Pasal 9,15 Anggaran Dasar IJTI.
2. Pasal 6 Anggaran Rumah Tangga IJTI
MEMPERHATIKAN : Hasil Pembahasan Sidang Pleno III Kongres IJTI ke-3 tanggal 22 Juli 2005.
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN : 1. Kode Etik Jurnalis Televisi Indonesia
2. Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
                                                            Pada Tanggal  : 22 Juli 2005
Jam : 14.30WIB

PRESIDIUM SIDANG


Imam Wahyudi Pasaoran Simanjuntak Hepran Mendayun Faiz Albar Ketua Anggota Anggota Anggota



KODE ETIK JURNALIS TELEVISI INDONESIA

MUKADDIMAH
Untuk menegakkan martabat, integritas, dan mutu Jurnalis Televisi Indonesia, serta bertumpu kepada kepercayaan masyarakat, dengan ini Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) menetapkan Kode Etik Jurnalis Televisi, yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh seluruh jurnalis Televisi Indonesia.
Jurnalis Televisi Indonesia mengumpulkan dan menyajikan berita yang benar dan menarik minat masyarakat secara jujur dan bertanggung jawab.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Kode Etik Jurnalis Televisi adalah pedoman perilaku jurnalis televisi dalam melaksanakan profesinya.
BAB II
KEPRIBADIAN
Pasal 2
Jurnalis Televisi Indonesia adalah pribadi mandiri dan bebas dari benturan kepentingan, baik yang nyata maupun terselubung.
Pasal 3
Jurnalis Televisi Indonesia menyajikan berita secara akurat, jujur dan berimbang, dengan mempertimbangkan hati nurani.
Pasal 4
Jurnalis Televisi Indonesia tidak menerima suap dan menyalahgunakan profesinya.

BAB III
CARA PEMBERITAAN
Pasal 5
Dalam menayangkan sumber dan bahan berita secara akurat, jujur dan berimbang, Jurnalis Televisi Indonesia :
a. Selalu mengevaluasi informasi semata-mata berdasarkan kelayakan berita, menolak sensasi, berita menyesatkan, memutar balikkan fakta, fitnah,cabul dan sadis. b. Tidak menayangkan materi gambar maupun suara yang menyesatkan pemirsa. c. Tidak merekayasa peristiwa, gambar maupun suara untuk dijadikan berita. d. Menghindari berita yang memungkinkan benturan yang berkaitan dengan masalah SARA. e. Menyatakan secara jelas berita-berita yang bersifat fakta, analisis, komentar dan opini f. Tidak mencampur-adukkan antara berita dengan advertorial. g. Mencabut atau meralat pada kesempatan pertama setiap pemberitaan yang tidak akurat dan memberikan kesempatan hak jawab secara proorsional bagi pihak yang dirugikan. h. Menyajikan berita dengan menggunakan bahasa dan gambar yang santun dan patut, serta tidak melecehkan nilai-nilai kemanusiaan. i. Menghormati embargo dan off the record.
Pasal 6
Jurnalis Televisi Indonesia menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah.
Pasal 7
Jurnalis Televisi Indonesia dalam memberitakan kejahatan susila dan kejahatan anak dibawah umur, wajib menyamarkan identitas wajah dan suara tersangka maupun korban.
Pasal 8
Jurnalis Televisi Indonesia menempuh cara yang tidak tercela untuk memperoleh bahan berita.
Pasal 9
Jurnalis Televisi Indonesia hanya menyiarkan bahan berita dari stasiun lain dengan izin
Pasal 10
Jurnalis Televisi Indonesia menunjukkan identitas kepada sumber berita pada saat menjalankan tugasnya.


BAB IV
SUMBER BERITA
Pasal 11
Jurnalis Televisi Indonesia menghargai harkat dan martabat serta hak pribadi sumber berita.
Pasal 12
Jurnalis Televisi Indonesia melindungi sumber berita yang tidak bersedia diungkap jati dirinya.
Pasal 13
Jurnalis Televisi Indonesia memperhatikan kredibilitas dan kompetensi sumber berita.

BAB V
KEKUATAN KODE ETIK
Pasal 14
Kode Etik Jurnalis Televisi ini secara moral mengikat setiap Jurnalis Televisi Indonesia yang tergabung dalam Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI)

Jakarta, 9 agustus 1998 Ditetapkan kembali dalam Kongres ke-2 IJTI pada tanggal 27 Oktober 200, dan dikukuhkan kembali dengan perubahan seperlunya pada kongres ke-3 IJTI di Jakarta pada 22 Juli 2005